Sabtu (8/8/2015) Pemerintah
Kecamatan Ngadirojo menggelar lomba langen beksan antar desa dalam rangkaian
peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara langen beksan digelar di
pendopo kecamatan yang sebelumnya dirangkaian dengan lomba tari antar SMA/SMK
se-kecamatan Ngadirojo, kabupaten Pacitan. Dalam pidato sambutan, Bapak Camat
Ngadirojo menyampaikan apresiasi warga Ngadirojo yang antusias menyaksikan
acara ini dan berharap acara ini adalah sarana untuk menjaga dan melesatarikan
budaya bangsa.
Langen beksan dikenal luas dengan
istilah tayub. Tayub sendiri bagi sebagian masyarakat diartikan sebagai ditata supaya guyub (ditata agar rukun).
Tayub merupakan kesenian Jawa yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang menampilkan gerak tari mengikuti alunan lagu/langgam yang ditembangkan
oleh sinden dengan diiringi oleh para pengrawit (penabuh gamelan). Langgam Jineman Uler Kambang sering digunkana
sebagai gendhing pembuka dalam
pagelaran tayub, selanjutnya akan dimainkan lagu-lagu Jawa klasik lainnya,
seperti Sinom Parijothom Sinom Nyamat
dan Pangkur Palaran.
Kesenian tayub banyak
diselenggarakan sebagai sajian hiburan pada acara syukuran, pernikahan, khitanan
ataupun acara bersih desa, misalnya dalam acara Jangkrik Genggong, yang
merupakan acara adat masyarakat Tawang, desa Sidomulyo, kecamatan Ngadirojo. Dalam
penyelenggaraan tayub, umumnya terdapat penari wanita yang dikenal dengan nama ledhek. Kata ledhek dipercaya berasal
dari kata lodhok yang berati lobang
besar. Arti ini mengacu pada kebiasaan pada penyelenggaraan tayuban, ledhek menjadi sasaran eksplotasi kaum
lelaki, entah hanya mencolek, mencium bahkan hal-hal lebih jauh dari sekedar
seggolan dan ciuman. Kini, istilah ledhek
banyak diganti dengan istilah larasati
untuk menghilangkan citra negatif para penari wanita dalam acara tayub.
Tayub sendiri dipercaya merupakan
induk dari tari Gambyong yang banyak ditarikan di istana keraton. Konon, ada
seorang penari taledhek/penari tayub bernama Gambyong pada zaman pemerintahan Paku
Buwana IV Surakarta (1788-1820). Gambyong adalah penari mumpuni yang
sangat mahir memainkan pola tubuh dalah kesenian tayub, ditambah kemerduan
suaranya. Saat ini banyak kreasi baru atas tarian Gambyong sejak lahirnya
Gambyong Pareanom karya Nyai Bei Mintoraras.
Tayub adalah kesenian rakyat yang
menyajikan kebersamaan dan kerukunan antar komponen masyarakat. Dalam penyelenggaraannya,
tayub menggambarkan keakraban dari si tuan rumah dengan para undangan yang
menunggu giliran mendapatkan sampur (selendang)
dari para ledhek/larasati untuk
menari bersama. Namun, dalam tayub sering diiringi dengan konsumsi minuman
keras yang tentunya memperburuk citra tayub bagi sebagian masyarakat. Jika kita
lebih jeli melihat, sebenarnya tayub hanyalah sebuah ekspresi bahagia yang
lahir dalam gerak tari seiring dengan lagu yang berkumandang. Tayub juga sebuah
sarana untuk ngleluri budaya yang
telah lahir dari leluhur bangsa.
Ragam beksan sendiri sangat
beragam. Beksan Sekar Medura adalah salah satunya. Beksan Sekar Medura
ditarikan oleh empat penari putra yang gagah. Tari ini juga sering disebut
Beksan Gundul atau Beksan Gendul. Kata gendul
mengacu pada penggunaan gendul sebagai
properti utama, selain sloki (gelas kecil). Properti gendul dan sloki ini menggambarkan kegembiraan warga Medura atas
kemenangan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwana I) saat menghadapi VOC.
Ragam lain adalah Beksan Lawung
Ageng yang menjadi salah satu sajian dalam upacara resepsi pernikahan GKR Hayu
dan KPH Notonegoro di keratan Yogyakarta 23 Oktober silam. Beksan Lawung Ageng
dibawakan oleh 16 penari pria. Ke-16 penari ini dikelompokkan menjadi dua
penari Lawung Botoh, dua penari Salaotho, empat penari Lawung Lurah, empat
penari Lawing Jajar dan empat pengampil. Menurut KRT Waseso Winoto, yang kala
itu menjadi penanggung jawab pagelaran tari, menyebutkan bahwa Beksan Lawung
Ageng merupakan tari klasik yang berupa ‘yasan’ dari Sri Sultan Hamengku Buwana
I yang berkuasa tahun 1755-1792. Ragam lain adalah Beksan Trunajaya, Beksan
Wira Pratama dan Langen Mandra Asmara. Masing-masing beksan memiliki ciri
tertentu yang saling membedakan satu dengan yang lain.
Sebagai bagian dari warga sebuah
bangsa yang berbudaya, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengenal dan
meletarikan budaya bangsa yang berakar dari budaya daerah yang adiluhung.
Dengan mengenal budaya tersebut, diharapkan sense
of belonging terhadap budaya makin kuat sehingga memicu rasa untuk terus
mempelajari, mencintai, melestarikan dan akhirnya mengembangkan kebudayaan
tersebut. Muara dari hal ini diharapkan agar kelak anak-cucu bangsa tidak hanya
mengenal budaya hanya sekedar menjadi sejarah belaka, melainkan menjadi bagian
hidup yang terus hidup dalam kehidupan sehari-hari. [PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar