Senin, 31 Agustus 2015

Upacara Adat Srumbung Mojo

Upacara Adat Srumbung Mojo Pacitan (Foto: Wema)

Upacara adat Srumbung Mojo berlangsung di dusun Mojo desa Punung kecamatan Punung kabupaten Pacitan. Dinamai dusun Mojo karena dahulu di tempat ini banyak dijumpai pohon buah Mojo.

Upacara adar Srumbung Mojo berpijak dari cerita rakyat yang berkembang di masyarakat setempat. Cerita tersebut berkisah antara Kyai Santri dan Dewi Ratri. Alkisah, Dewi Ratri berguru pada Kyai Santri, salah satunya tentang alat musik Gender (salah satu perangkat gamelan). Ada kabar yang berhembus terkait kedekatan Kyai Santri dan Dewi Ratri. Dalam kabar tersebut, Dewi Ratri dinyatakan berselingkuh dengan Kyai Santri. Kabar tak sedap itu sampailah ke telinga suami Dewi Ratri. Terbakar cemburu, emosi suami Dewi Ratri memuncak dan akhirnya membunuh Kyai Santri. Sebelum ajalnya datang, Kyai Santri berujar jika darah yang menetes dari tubuhnya berwarna putih, maka dia tidak bersalah.

Benar saja, darah yang keluar dari tubuh Kyai Santri berwarna putih. Akhirnya, suami Dewi Ratri percaya akan kesetiaan istrinya. Dia pun menyesal atas apa yang diperbuatnya secara tergesa-gesa. Jasad Kyai Santri dimakamkan dan dikenal dengan nama Srumbung Mojo. Konon, Srumbung Mojo merupakan sebuah tempat yang dipercaya memberikan tuah, sehingga sampai saat ini masih ada warga yangn datang untuk nyadran (bersih kubur) dan nguari ujar (menunaikan nadzar/janji). [PK]


Minggu, 30 Agustus 2015

Upacara Adat Jemblung Somopuro

Kesenian Wayang Jemblung (Foto: Trasmara)

Upacara adat Jemblung Somopuro adalah tradisi yang dilakukan pada saat-saat tertentu di desa Bungur kecamatan Tulakan kabupaten Pacitan. Upacara ini dilakukan untuk mengenang seniman jemblung yang bertapa di Gua Somopuro.

Gua Somopuro, Tulakan, Pacitan (Foto: Miranti)

Jemblung adalah sebuah sarana dakwah Islam yang dibawa dari Banyumas, Jawa Tengah. Proses dakwah makin menyebar dan meluas, sehingga jemblung akhirnya sampai di daerah Pacitan, Ponorogo, Kediri dan Blitar. Jemblung merupakan seni teater tutur. Dalam satu pementasan, kesenian jemblung melibatkan empat hingga lima seniman/seniwati, umumnya satu wanita dan sisanya laki-laki. Kesenian jemblung tidak menggunakan gamelan atau alat musik lain, sehingga murni mengandalkan kemampuan tutur para pemainnya, baik dalam percakapan maupun untuk suara latar. Inilah yang menjadikan kesenian ini unik, dari suara 4-5 pemainnya bisa menghasilkan seluruh tokoh dan suara latar yang disajikan dalam sebuah pementasan.

Wayang Jemblung Khas Banyumas (Foto: Stefanus)


Semangat seniman jemblung dalam menyebarkan ajaran Islam inilah yang diperingati dalam upacara adat. Diharapkan, generasi penerus bangsa mampu mempunyai semangat yang pantang menyerah dalam berkarya dan berbakti pada nusa dan bangsa. [PK]


Sabtu, 29 Agustus 2015

Upacara Adat Methik Pari


Upacara Adat Methik Pari Pacitan (Foto: Alip)

Upacara Methik Pari merupakan tradisi yang berkembang di desa Jeruk kecamatan Bandar kabupaten Pacitan. Methik Pari berarti memetik padi, sangat erat dengan karakter agraris di daerah Bandar. Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur para petani akan panen padi yang telah diperoleh, sekaligus sebagai penghormatan kepada Dewi Sri dan Joko Sadono.

Upacara Adat Methik Pari Pacitan (Foto: Alip)

Upacara adat Methik Pari mulai berkembang saat masa penjajahan Belanda. Masyarakat Bandar mulai mengenal padi sebagai tanaman penghasil bahan makanan pokok. Upacara ini dilakukan sehari sebelum panen padi dilaksanakan. Tarian biasanya dilakukan di malam hari dengan puncak acara menampilkan tarian khas yang juga berkisah tentang aktivitas memetik padi. [PK]


Jumat, 28 Agustus 2015

Upacara Adat Badut Sinampurno

Upacara Adat Badut Sinampurna (Foto: Ki Setyo)

Upacara adat Badut Sinampurna adalah tradisi yang berkembang di desa Ploso, kecamatan Tegalombo, kabupaten Pacitan.Upacara adat ini dilakukan sebagai upaya untuk tolak bala dan ruwatan atas gangguan dari makhluk halus yang ada di sekitar. Pada hakikatnya, acara Badut Sinampurno adalah ungkapan doa bersama untuk menjalani kehidupan yang sempurna.

Badut Sinampurno dilakukan warga Ploso pada saat-saat tertentu, misalnya saat menginjak dewasa atau akan melangsungkapn upacara pernikahan. Sebagai sebuah bersih desa, upacara ini juga menggunakan sesaji. Sesaji merupakan manifestasi nyata dari kesungguhan atas doa yang dipanjatkan. Sesaji yang disiapkan dalam acara Badut Sinampurno adalah sego tumpeng, sego golong dan ingkungi. Sesaji ini  akan diberikan doa atasnya, lalu dibagikan kepada warga untuk dinikmati secara bersama-sama.

Badut Sinampurno adalah upacara adat yang secara nyata tidak hanya memberikan berkah kepada sang punya hajat, namun juga kepada masyarakat luas. Dalam upacara adat ini, banyak pula manfaat yang dapat diambil, sebut saja semangat kebersamaan dalam menyukseskan acara yang ada. Kebersamaan inilah yang ditunjukkan penjagaan atas tradisi yang telah dilaksanakan oleh para leluhur. [PK]


Kamis, 27 Agustus 2015

Upacara Adat Baritan

Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Wem)

Upacara adat Baritan merupakan upacara adat yang digelar di dusun Wati desa Gawang kecamatan Kebonagung kabupaten Pacitan. Upacara ini dilaksanakan dua tahun sekali, yaitu pada hari Senin bulan Sura dalam kalender Jawa (bulan Muharram dalam kalender Hijriyah). Penentuan tepatnya dilakukan oleh sesepuh dan juru kunci daerah setempat sesuai dengan perhitungan hari baik dan hari buruk pada bulan dan tahun tersebut. Kata baritan berasal dari kata bareng wiritan (melakukan wirid secara bersama-sama). Oleh karenanya, acara ini berisi doa untuk memohon perlindungan dan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat setempat dihindarkan dari marabahaya.

Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Panoramio)

Upacara Baritan dilaksanakan di perempatan jalan terbesar di dusun Wati ini. Alasan pemilihan tempat penyelenggaraan upacara ini dimaksudkan agar mempermudah akses dari seluruh warga dusun untuk menghadiri acara tersebut. Waktu penyelenggaraan acara adalah jam 12:00 WIB, sesaat selepas sholat dhuhur. Pada waktu ini, mayoritas masyarakat dusun Wati yang berprofesi sebagai petani sedang berada di rumah, sehingga potensi untuk menghadiri acara sangat besar.


Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Alip)

Seperti upacara adat lainnya, dalam upacara adat Baritan ini juga menggunakan sesaji. Sesaji akan diniatkan, didoakan, dan dinikmati bersama-sama. Sesaji utama dalam upacara adat Baritan adalah kambing kendhit jantan dan sepasang ayam tulak. Dahulu, upacara baritan hanya sebatas berkumpul, meng-aamiin-kan doa, dan makan bersama. Namun, saat ini upacara adat telah dimodifikasi agar lebih menarik dan  menjadi agenda wisata. Rangkaian acara yang dilaksanakan para leluhur dijadikan sebagai acara inti, sedangkan selebihnya ditampilkan kesenian daerah yang disajikan oleh masyarakat setempat. Sajian kesenian ini dapat berupa pentas tari, pencak silat, musik, wayang kulit ataupun jenis hiburan yang lain.


Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Alip)
Berdasarkan folklore yang berkembang di masyarakat, upacara adat Baritan diangkat dari kisah pada zaman Ki Ageng Soreng Pati, seorang abdi dari Ki Ageng Buwono Keling. Konon, masyarakat setempat mengalami wabah penyakit yang berkepanjangan, segala upaya masyarakat untuk mengatasi wabah ini tak berbuah manis. Alkisah, Ki Ageng Soreng Pati memerintahkan untuk menyembelih kambing kendhit jantan dan seoasang ayam tulak sebagai sedekah bumi. Setelah proses kurban tersebut, wabah mereda dan berangsur hilang. Oleh karena itu, masyarakat terus melaksanakan upacara ini untuk menghindarkan masyarakat dari datangnya wabah penyakit. [PK]

Rabu, 26 Agustus 2015

Upacara Adat Mantu Kucing di Pacitan


Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Wem)

Upacara adat Mantu Kucing merupakan bagian dari budaya di desa Purworejo kecamatan Pacitan kabupaten Pacitan. Desa ini berada kurang lebih tiga kilometer di sebelah timur dari pusat Kota Pacitan. Wilayah desa Purworejo didominasi oleh area persawahan dengan beberapa bukit dan aliran anak sungai Grindulu, sungai terbesar yang mengalir di kecamatan Pacitan. Kondisi alam demikian sangat mendukung mata pencaharian sebagian besar penduduknya sebagai petani.

Petani dan alam adalah sebuah kesatuan. Petani harus memahami alam aga menjadikan alam sebagai faktor pendukung dalam menjalankan profesi di bisang agraria ini. Namun terkadang, alam berperan sebagai faktor penghambat bagi para petani untuk berkarya. Sebagai contoh, datangnya musim kemarau yang berkepanjangan menjadikan debit air berkurang bahkan dapat menyebabkan kekeringan. Kondisi ini menjadi penghalang bagi petani untuk menanam padi atau tanaman lainnya.

Entah sejak kapan, di desa Purworejo kecamatan Pacitan berkembang tradisi untuk masalah kemarau panjang yang terjadi. Upaya ini dilakukan dengan menjalankan sebuah upacara yang bertujuan untuk meminta diturunkannya hujan. Tradisi ini dipercaya sudah berkembang sejak zaman animisme dan dinamisme. Saat ini, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun tradisi ini masih dipegang teguh oleh para warga. Hanya saja, doa yang dipanjatkan berpindah haluan, jika dahulu doa yang dipanjatkan ditujukan kepada roh halus, roh leluhur atau makhluk yang mbahurekso wilayah ini, kini doa ditujukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Upacara adat mantu kucing tidak ubahnya seperti prosesi pernikahan manusia. Kedua kucing yang akan dinikahkan juda disebut sebagai manten (pengantin) dan dipakaiakan mahkota dari janur kuning. Kucing betina berasal dari desa Purworejo, sedangkan sang pejantan diambilkan dari desa tetangga, umumnya dari desa Arjowinangun. Upacara ini dilaksanakan di tepi sungai, perbatasan antara asal kucing betina dan jantan. Sesepuh desa menjelaskan bahwa maksud pemilihan tempat ini agar sungai yang dijadin tempat upacara akan segera dialiri air yang berasal dari air hujan sebagai hasil dari proses permohonan turunnya hujan ini.

Calon mempelai wanita dipilih kucing betina yang sudah dewasa  tapi belum pernah beranak. Kucing betina memiliki rambut (bulu) coklat halus, berbadan sehat dan asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon mempelai laki-laki dipilih kucing jantan dewasa yang diperkirakan belum pernah mengawini kucing betina manapun. Kucing jantan juga dipilih yang memiliki warna rambut (bulu) coklat halus dan berbadan sehat. Kucing jantan ini merupakan kucing yang dipelihara oleh warna desa tentangga, umumnya berasal dari desa Arjowinangun.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Upacara dimulai dengan proses membawa mempelai wanita ke tempat acara dengan menggunakan tandu. Setelah mempelai laki-laki datang, dilakukan jemuk (temu manten) dengan disertai dengan penyerahan mahar dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Mahar pernikahan ini berupa pedangiran (gentong yang terbuat dari tanah liat). Barang ini dipilih sebagai simbol bahwa warga setempat sudah siap untuk menerima turunnya hujan. Mahar diserahkan oleh seorang wanita (Ibu kepala desa Arjowinangun) kepada seorang laki-laki (Bapak kepala desa Purworejo). Selanjutnya, kedua pengantin didudukkan bersanding di tandu mempelai wanita dan diarak menuju tepi sungai.

Upacara dilanjutkan dengan proses memandikan kedua mempelai. Kedua mempelai (kucing betina dan jantan) diserahkan kepada sesepuh desa, selanjutnya sesepuh desa-lah yang memandikan kedua mempelai dengan air bunga. Proses ini bertujuan untuk mensucikan tubuh kedua mempelai sebelum memasuki prosesi akad nikah. Setelah kedua mempelai dimandikan, kedua mempelai dinikahkan dengan ijab diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan qobul diucapkan oleh sesepuh desa. Akad nikah ditutup dengan pemanjatan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Acara dilanjutkan dengan ngalap berkah berupa proses kembul bujana punar (makan bersama nasi kuning).  Secara bergantian, seluruh hadirin mengambil nasi kuning (punar) yang dibuat dalam bentuk tumpeng. Proses makan ini dipercaya akan mendatangkan berkah baik berupa hujan, maupun berkah yang lain. Selanjutnya, acara diakhiri dengan acara saling memberikan sungkem dari pihak mempelai laki-laki dan wanita. Kedua mempelai selanjutnya dimasukkan dalam kandang dan dipingit hingga tujuh hari atau sampai hujan turun. Setelah hujan turun, kedua kucing dipelihara selayaknya kucing peliharaan.

Pro dan kontra senantiasa menjadi bagian dari sebuah hal, termasuk upacara adat mantu kucing ini. Bagi masyarakat yang pro menganggap bahwa melaksanakan acara ini merupakan upaya untuk melestarikan budaya dan menghormati para leluhur. Namun, bagi pihak yang kontra menganggap bahwa acara ini merupakan praktik bid’ah yang mengarah timbulnya penyekutuan terhadap kekuasaan Allah SWT.

Demikianlah manusia, senantiasa dihadapkan pada hal-hal yang kontradiktif, pro-kontra, hitam-putih, gelap-terang. Kebijaksanaan manusia-lah yang diharapkan mampu untuk bertenggang rasa dan saling menghormati pendapat dan kepercayaan masing-masing, sehingga kedua hal yang kontradiktif ini bisa saling berjalan beriringan tanpa merugikan satu sama lain. [PK]


Selasa, 25 Agustus 2015

Ceprotan, Sebuah Aset Budaya Kabupaten Pacitan



Sebuah Adegan Ki Godheg dan Dewi Sekartaji dalam upacara Ceprotan (Foto: Awik Baidawi)


Ceprotan merupakan upacara adat yang terjadi di desa Sekar kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, sekitar 40 kilometer ke arah barat dari pusat kota Pacitan. Seperti upacara bersih desa lainnya, Ceprotan juga dilaksanakan di bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah) pada penanggalan Jawa. Masyarakat Jawa masih memegang teguh prinsip dan peranan bulan Jawa dalam putaran waktu sepanjang tahun. Ceprotan dilaksanakan setahun sekali tepatnya setiap hari Senin Kliwon (Soma Kasih) pada bulan Selo. Jika dalam suatu masa di mana tidak dijumpai hari Senin Kliwon pada bulan Selo, maka pelaksanaan upacara Ceprotan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon (Radite Kasih).

Upacara Ceprotan terkait dengan babad tanah Sekar, Donorojo. Upacara ini digelar untuk menghindarkan masyarakat dari mara bahaya dan musibah yang dapat terjadi. Namun, seiring proses modernisasi, upacara Ceprotan menjadi agenda wisata yang juga digarap oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kabupaten Pacitan.
Istilah ceprotan dimungkinkan berasal dari kata cipratan (percikan) dari air kepala muda yang menjadi puncak dalam upacara adat ini. Sebelumnya, upacara adat dimulai dengan pengarakan cengkir (kelapa muda) yang digunakan sebagai sarana ceprotan menuju ke tempat dilaksanakannya upacara. Selanjutnya, tetua adat memberikan doa-doa untuk keselamatan dan kemakmuran warga setempat. Selanjutnya,acara dilanjutkan dengan penampilan sendratari tentang Ki Godheg (sebagian teks menyebutkan Ki Gadheg) dan Dewi Sekartaji.
Ki Godheg memberikan kelapa kepada Dewi Sekartaji, Dokumentasi 2014 (Foto: Doc. Pacitan)

Setelah sendratari selesai, upacara Ceprotan mulai memuncak. Pemuda yang membawa kelapa muda dibagi menjadi dua kubu dan berada pada tempat yang saling berseberangan pada jarak tertentu. Di antara kedua kubu tersebut, diletakkan ayam bakar. Setelah semua siap, anggota dari kedua kubu mulai saling melempar kelapa muda yang berada di depan mereka. Setiap orang yang terkena lemparan hingga kelapa yang dilempar pada mereka pecah dan airnya membasahi tubuhnya dianggap sebagai orang yang kelak akan mendapatkan rezeki yang melimpah. Ayam panggang yang diletakkan di tengah-tengah arena tidak diperebutkan melainkan disimpan untuk dimakan bersama-sama pada akhir acara. Setelah semua kelapa habis, kegiatan saling melempar kelapa yang dinamakan ceprotan ini diakhiri dengan pembacaan doa kembali. Pada penutupan acara ceprotan ini juga dilakukan tarian-tarian singkat yang mengiringi kepergian pemuda-pemuda yang telah melakukan ceprotan.

Sebagai sebuah folklore (cerita tutur), banyak versi yang berkembang terkait dengan sejarah detail Ceprotan. Paling tidak, ada dua versi cerita yang berkembang di Masyarakat, namun kedua versi cerita tersebut bermuara pada ujung yang sama, alur global keduanya juga mirip.

Cerita versi pertama menggambarkan bahwa saat itu wilayang yang saat ini bernama desa Sekar pada awalnya merupakan wilayah tandus dan tak berpenghuni. Desa Sekar berada di sebelah utara Kerajaan Wirati yang saat itu dipimpin oleh Prabu Prawirayudha yang dikenal luas dengan nama Ki Kalak. Salah satu putra beliau bernama Ki Gadheg ditugasi untuk membuka padepokan dengan babad alas wilayah yang saat ini bernama desa Sekar. Pada waktu babad alas, ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang mencari kekasihnya, Raden Panji Asmarabangun. Merasa kehausan, Dewi Sekartaji meminta minum kepada Ki Gadheg. Melihat sekeliling, Ki Gadheg tak dapat menemukan pohon kelapa yang akan diambil airnya untuk diberikan kepada Dewi Sekartaji. Dengan kesaktiannya, Ki Gadheg mendapatkan buah kelapa dan diberikan kepada Dewi Sekartaji. Setelah dahaganya menghilang, sisa air kelapa ditumpahkanlah ke tanah dan akhirnya menjadi mata air. Setelah peristiwa itu, Dewi Sekartaji memberikan pesan kepada Ki Gadheg untuk menamakan daerah tersebut dengan nama Sekar jika suatu saat menjadi daerah yang makmur. Selain itu, Dewi Sekartaji juga berpesan agar diadakan upacara bersih desa sekali dalam setiap tahun.

Dewi Sekartaji membuang sisa air kelapa, dokumentasi 2014 (Foto:Do. Pacitan)

Versi kedua menceritakan sosok Ki Gadheg bernama Ki Godheg. Dalam cerita ini, Ki Godheg merupakan samaran dari Raden Panji Asmarabangun. Ki Godheg memiliki misi untuk mengubah hutan belantara menjadi lahan pertanian. Dalam proses babad alas, Ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang kehausan. Demi memenuhi keinginan Dewi Sekartaji, Ki Godheg menggunakan kesaktiannya untuk masuk ke dalam tanah dan menuju tempat lain yang cukup jauh. Konon, tempat keluar Ki Godheg dari dalam tanah berubah menjadi sebuah mata air, kini dikenal dengan nama Kedung Timo di daerah Wirati, desa Kalak. Setelah mendapatkan kelapa, Ki Godheg kembali ke tempat semula dan menyerahkan kelapa tersebut kepada Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji meminum air tersebut hingga hilang rasa dahaganya, sisa air kelapanya ditumpahkan ke tanah. Tanah yang ditetesi sisa air kelapa oleh Dewi Sekartaji ini seketika berubah menjadi mata air yang kini dinamai Sumber Sekar. Di akhir pertemuan mereka, Dewi Sekartaji berpesan kepada Ki Godheg bahwa kelak jika di daerah tersebut menjadi pemukiman penduduk, maka daerah tersebut harus dinamai dengan nama Sekar.

Versi folklore lain yang berkembang di masyarakat adalah menceritakan bahwa Ki Godheg dan Dewi Sekartaji merupakan sepasang suami-istri. Pasangan ini mendirikan sebuah padepokan untuk mengembangkan ilmu yang dimiliki keduanya. Dalam menerima murid, Ki Godheg dan Dewi Sekartaji memberikan sejumlah persyaratan yang harus dibawa oleh calon murid saat akan masuk padepokannya. Persyaratan tersebut meliputi cengkir, beras pari, beras ketan, mori, pitik putih mulus, kembang setaman, dan menyan. Pada waktu yang ditentukan, calon murid berdatangan menghadap Ki Godheg. Beberapa di antara mereka membawa persyaratan yang disebutkan, namun beberapa yang lain datang dengan tangan hampa. Selanjutnya, Ki Godheg menuturkan bahwa orang yang membawa persyaratan tersebut dianggap tidak dapat memahami persyaratan yang diminta Ki Godheg, karena persyaratan tersebut bukan secara fisik, melainkan kesiapan mental yang dikemas dalam kereta basa (kepanjangan dari kata/istilah yang disampaikan).

Puncak acara ceprotan: melempar cengkir, Dokumentasi 2014 (Foto Doc. Pacitan)

Cengkir diartikan sebagai kenceng ing pikir (modal kecerdasan otak), sedangkan beras pari berarti biar aber kekerasane (modal kecerdasan emosi) dan beras keran adalah keket tan ana tandinge (menjadi manusia seutuhnya). Syarat yang lain juga merupakan pesan moral yang dikemas dalam kereta basa, syarat mori berarti ngemori (menyatu dengan masyarakat) dan syarat pitik putih mulus berarti pikirane mletik lan tulus (berlandaskan pada pola pikir yang jernih dan tulus). Dua syarat terakhir merupakan sebuah perlambang. Kembang setaman memiliki maksud agar setiap manusia menebarkan perpuatan yang baik, sedangkan menyan melambangkan pesan untuk senantiasanya mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta.

Sanggar Edi Peni Pacitan pernah terlibat dalam proses komersialiasasi upacara adat Ceprotan ini. Sanggar Tari Edi Peni menyajikan sebuah tarian bertajuk tari Sekar Putri Manis. Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita. Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.

Tari Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997. Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.

Penari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan

Selain tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten Lamongan.

Upacara adat Ceprotan merupakan aset budaya daerah yang sudah sepantasnya untuk dijaga dan dilestarikan agar kelak, generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan pendahulunya. Cengkir yang berarti kenceng ing pikir sebagai properti utama dalam upacara memberikan pelajaran bahwa otak adalah dasar untuk meraih rezeki Tuhan dalam kehidupan.[PK]


Senin, 24 Agustus 2015

Keistimewaan Bulan Selo (Dzulqo’dah)


Sistem Penanggalan Masehi yang dilengkapi dengan Penanggalan Hijriyah dan Jawa

Bulan Selo merupakan bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam. Bulan selo dikenal juga dengan istilah bulan Longkang, sedangkan dalam penanggalan hijriyah dikenal dengan nama Dzulqo’dah (Dulkangidah, dalam pengucapan Jawa). Jika kita cermati kehidupan dalam bermasyarakat, khususnya dalam masyarakat Jawa, ada beberapa keunikan yang terjadi di bulan Selo ini. Bulan Selo adalah bulan terlarang bagi masyarakat Jawa untuk menggelar acara hajatan besar, baik untuk pernikahan ataupun khitanan. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bulan Selo untuk melakukan acara bersih desa lengkap dengan sedekah bumi dan upacara adat lainnya.

Kata selo berarti batu yang berhubungan dengan lemah (tanah). Makna kata selo ini dihubungkan dengan nama lain dari bulan Dulkangidah dalam penanggalan Jawa Kuno. Pada penanggalan tersebut, penamaan musim kesebelas adalah Hapit Lemah, sehingga bulan Selo juga dikenal dengan bulan Apit. Makna kata selo yang berhubungan dengan tanah ini mungkin menjawab pertanyaan tentang alasan dilaksanakannya sedekah bumi pada bulan ini.

Bulan Selo dalam Kalender Jawa

Dalam tatanan bahasa Jawa, dikenal dengan istilah Kereta Basa, yang menungkinkan mengartikan makna sebuah kata dengan menguraikannya. Misalkan kata gedhang (pisang) dalam aturan Kereta Basa diartikan sebagai digeget bar madhang (dinikmati setelah makan). Contoh lain adalah kata gelas yang diartikan sebagai yen tugel ora bisa di las (jika patah tak dapat lagi di-las/disambungkan). Demikian juga dengan kata selo, kata ini juga memiliki makna dalam tata aturan kereta basa yang sangat berpengaruh dengan karakter bulan ini dalam masyarakat Jawa. Kata selo diartikan sebagai seselane olo atau kesesel barang olo. Kedua makna dalam kereta basa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang olo (kejelekan/keburukan). Makna ini selanjutnya dipercaya oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat Jawa tidak akan menunaikan hajat pada bulan yang dianggap penuh dengan hal-hal buruk.

Makna lain bulan Selo dapat dilihat dari nama asli bulan Selo dalam istilah Arab. Kalender Jawa merupakan adaptasi antara budaya Jawa dan budaya Islam, sehingga perlu ditelusuri makna kata selo dalam bahasa alinya. Sultan Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa pada tahun 1547 Saka (1035 Hijriah atau tahun 1625 Masehi). Bulan Selo dalam penanggalan Islam disebut bulan Dzulqo’dah. Dalam bahasa Arab, kata qo’idah berasal dari kata qo’ada yang berarti duduk. Makna kata qo’adah ini dikaitkan dengan perintah untuk duduk bersila dan memperbanyak dzikir pada bulan ini. Dimungkinkan ada penyalahtangkapan makna qo’adah dari sila menjadi selo.

Dalam sistem kalender Islam, Dzulqo’dah merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan di mana umat muslim tidak diperbolehkan perang pada bulan ini (QS. At-Taubah:36). Larangan akan dilakukan perang inilah yang mungkin digeneralisasi sebagai larangan untuk melakukan hajat baik pada bulan ini. Sebagian keterangan para ulama juga menghubungkan kemuliaan bulan Selo (Dzulqo’dah) dengan bulan untuk menapaktilasi semangat nabi Musa (QS Al A’raf:142), sehingga pada bulan ini umat muslim diperintahkan untuk merenung dan duduk bersila sembari membaca dzikir dan memanjatkan doa.

Bulan Selo dikenal pula dengan istilah Longkang. Kata longkang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai gang sempit di antara dua rumah. Dahulu, masyarakat Jawa memegang teguh prinsip bahwa air hujan dari genting rumahnya harus jatuh di tanahnya sendiri, sehingga orang Jawa akan memberikan space kosong pada keempat sisi tanah yang dibangun rumah. Prinsip ini memberikan dampak nyata bahwa antara satu rumah dengan rumah tetangga terdekat tidak saling berhimpitan. Space terbuka antara kedua rumah inilah yang disebut sebagai longkoang. Jika dikaitkan dengan penanggalan Jawa, bulan Longkang merupakan bulan anatara dua hari raya. Bulan kesepuluh dalah penanggalan Jawa adalah Sawal (Syawal) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Fitri, sedangkan bulan kedua belas adalah bulan Besar (Dzulhijjah) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha. Jelaslah bahwa kata longkang berarti space waktu yang kosong tanpa adanya hari raya.

Space waktu kosong (longkang) di antara dua hari raya hendaknya digunakan secara maksimal oleh masyarakat Jawa. Leluhur Jawa mencontohkan acara bersih desa pada bulan ini. Acara bersih desa mulai ada dan berkembang sejak era anismisme dan dinamisme menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Jawa. Bersih desa dilakukan semata-mata untuk memberikan hak perhormatan kepada leluhur yang telah babad alas dan memberikan berkah melimpah pada desa tersebut. Pesan dari kegiatan bersih desa adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa, bukan hanya kegiatan bersenang-senang yang banyak dilakukan pada bulan-bulan yang mengapitnya.

Pada era sekarang, beberapa daerah masih mempertahankan tradisi untuk melakukan bersih desa. Tradisi ini mulai terdapat pergeseran makna di dalamnya. Dahulu, bersih desa dimaksudkan untuk melakukan ritual pemujaan pada sosok yang mbahurekso tempat tersebut, namun saat ini bersih desa dilaksanakan sebagai aset budaya non benda. Pemujaan dilakukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pelaksanaan bersih desa dilakukan sebagai sebuah upacara untuk menjada dan melestarikan budaya. [PK]

Minggu, 23 Agustus 2015

Rontek, Sebuah Tradisi

Salah satu peserta Festival Rontek Pacitan 2015 (Foto: Pacitanku)

Manusia tercipta dengan akal pikiran yang senantiasa melahirkan karya cipta. Akal pikiran manusia akan mengejawantah hal-hal yang ada menjadi suatu hal yang lebih berguna bagi kehidupan manusia. Setiap karya cipta yang ada merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan yang menjadi petilasan manusia kelak jika telah tiada. Budaya akan menjadi ciri khas suatu masyarakat, dan akan beradu dengan budaya daerah lain untuk saling menunjukkan eksistensinya.

Rontek adalah hasil karya manusia. Jika ditilik dari laman artikata.com rontek memiliki arti bendera yang dipasang di ujung tombak. Arti ini nampaknya tidak pas jika dihubungkan dengan kesenian yang sedang berlangsung di kabupaten Pacitan dengan tajuk Festival Rontek Pacitan 2015. Festival Rontek Pacitan menjadi agenda rutin dari Disbudparpora Kabupaten Pacitan mulai tahun 2011 lalu. Pada awal penyelenggaraannya, festival ini diikuti oleh 2.818 orang dan akhirnya diganjar dengan penghargaan MURI atas pecahnya rekor baru pada kategori permainan rontek.

Rontek merupakan akronim dari ronda tetek yang merupakan tradisi masyarakat Pacitan pada bulan Ramadhan untuk membangunkan warga saat hendak melaksanakan sahur. Kata tetek sendiri berasal dari bunyi yang dihasilkan properti yang digunakan. Tetek merupakan kentongan kecil yang terbuat dari bambu dengan berbagai ukuran. Alat ini dimainkan dengan dipukul, seperti halnya kentongan pada umumnya. Besar-kecilnya alat, besar-kecilnya celah yang dibuat dan jenis bambu yang digunakan untuk membuat tetek menjadi salah satu faktor pembeda suara yang dihasilkan. Di daerah lain, misalnya Malang dan Jember, rontek dikenal dengan istilah musik patrol.

Peserta Festival Rontek Pacitan 2014 (Foto: Henri)

Festival Rontek Pacitan dikemas sebagai sebuah ajang budaya, sehingga bukan harus dibuat semenarik mungkin untuk menggugah keinginan masyarakat untuk menyaksikan. Dalam praktiknya, Festival Rontek Pacitan diikuti oleh seluruh desa/kelurahan di kecamatan Pacitan dan perwakilan masing-masing kecamatan di luar kecamatan Pacitan. Setiap rombongan menampilkan kreasi musik rontek dengan dilengkapi dengan pawai mobil hias dan tim penari yang berlenggak-lenggok mengiringi musik yang disajikan. Sebagai sajian inti, musik rontek dikreasikan dan dipadukan dengan beberapa alat musik lain, seperti saron, bonang dan gong untuk menghasilkan musik yang lebih indah. Dalam proses penilaian, panitia akan menunjuk tim juri yang berasal dari Surabaya, Surakarta atau Yogyakarta.

Sebagai agenda budaya, Festival Rontek Pacitan memang telah menyedot animo masyarakat untuk turut menyaksikan setiap penampilannya. Tahun 2015 ini, Festival Rontek Pacitan digelar pada 22-24 Agustus 2015 dengan 36 peserta. Festival dimulai sekitar jam 19.00 WIB dengan mengambil rute dari Pendopo Kabupaten masuk ke Jl. Ahmad Yani lalu meuju Jl.  Jenderal Sudirman dan finish di Toko Jamu Jago. Pendopo Kabupaten dan PLUT adalah dua pos yang mengharuskan rombongan setiap peserta untuk melakukan atraksi andalan masing-masing. Kejuaraan akan diambil dari tiga kategori, yaitu Lima Penyaji Tebaik, Tiga Penata Musik Terbaik dan Pelestari Budaya.

Salah satu Peserta Festival Rontek Pacitan 2013 (Foto: Frendi)

Festival Rontek Pacitan sebenarnya bukan merupakan festival rontek atau musik patrol pertama di Indonesia. Di Kabupaten Jember, atas prakarsa dari Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian (UKMK) Universitas Jember diadakanlah Carnaval Music Patrol. Acara ini merupakan agenda tahunan yang mulai digelar pada tahun 2000. Jember Carnaval Music Patrol juga memberikan suguhan musik yang indah, suara musik patrol dipadu dengan alat musik lain, misalnya seruling untuk menghasilkan sajian yang memukau. Untuk menambah daya tarik, beberapa peserta menambahkan beberapa tarian dan atraksi dalam pagelarannya.
Peserta Carnaval Music Patrol Jember 2014 (Foto: Dieqy)

Atraksi Peserta Carnaval Music Patrol Jember 2014 (Foto: Dieqy)

Di Purbalingga berkembang pula kesenian yang mirip dengan rontek, yaitu rongtek. Kata rongtek berasal dari singkatan ronggeng tek-tek. Kesenian ini merupakan sebuah tarian yang yang diciptakan oleh Susiati dan tim dari Sanggar Tari Wisanggeni. Ronggeng merupakan kesenian lenggeran khas banyumasan yang ditarikan dengan penuh keceriaan oleh remaja-remaja putri. Tarian ini enerjik dan menarik. Tarian lenggeran ini dikreasikan dengan suara kentongan bambu yang juga dipadu dengan alat musik lainnya. Tari Rongtek asal Purbalingga ini menyabet penghargaan Penata Tari Unggulan dan Penata Musik Unggulan pada Festival Tari Nusantara 2013 yang diselenggarakan di Sasana Langen Budaya Taman Mini Indonesia Indah.


Tari Rongtek Purbalingga (Foto: Indonesia Kaya)
Asal mula musik rontek atau patrol memang belum diketahui dengan jelas. Namun, kesenian ini merupakan hasil karya manusia yang punya tujuan luhur. Sebagai generasi penerus bangsa, kita selayaknya sadar bahwa setiap kesenian daerah merupakan aset budaya bangsa yang harus diapresiasi dan dijaga agar tetap lestari. [PK]





Jumat, 21 Agustus 2015

Pelajaran dari Tari Bathok





Rabu (19/8/2015) pagi sedari jam 6.30 WIB lapangan desa Ngadirojo mulai dijejali oleh riuh suara anak-anak PAUD dan TK dari hampir seluruh desa di wilayah kecamatan Ngadirojo. Siswa-siswi PAUD-TK ini didampingi dengan orang tua dan guru mereka masing-masing akan mempertontonkan senam/tari dengan properti berupa bathok (tempurung kelapa). Separuh dari lapangan dipadati oleh anak-anak yang telah berdandan dengan bahan alam dan bahan bekas dan siap menularkan keceriaannya lewat tampilan mereka.


Tari Bathok adalah senam kesehatan jasmani yang diiringi dengan medley lagu-lagu daerah dari seluruh nusantara. Properti tempurung kelapa dipegang di kedua tangan, dan pada beberapa gerakan akan ditepukkan. Hasil dari gerakan ini akan menghasilkan bunyi prok, sehingga menambah riuh suasana. Ciri khas lain dari tarian ini menunjukkan khas tarian anak-anak, yaitu gerakan sederhana, seperti membungkuk atau memutar badan. Tarian ini disajikan oleh banyak orang, sehingga nampak lebih indah karena kekompakan yang dipertontonkan.

Kesuksesan dari tampilan anak-anak PAUD dan TK ini menjadi kebanggan tidak hanya bagi sang anak, namun juga bagi orang tau. Kebanggaan yang hadir di pikiran anak sangat baik untuk perkembangan mereka, karena akan menumbuhkembangkan rasa percaya diri tampil di depan khalayak. Rasa percaya diri menjadi salah satu modal dasar kehidupan yang harus dipupuk untuk kesuksesan sang anak di masa mendatang. Dan dari kesuksesan ini, anak akan termotivasi untuk meraih kesuksesan-kesuksesan yang lain di kemudian hari.

Kesuksesan merupakan hasil dari sebuah proses kerja sebelumnya. Mungkin filosofi ini yang menjadi salah satu dasar didengungkannya tema “Ayo Kerja” oleh pemerintah pada peringatan HUT Kemerdekaan RI tahun ini. Leluhur Jawa juga telah memberikan nasihat bahwa siapapun yang telah menanam sesuatu akan memetik buah dari apa yang dia tanam suatu saat nanti. Dan kesuksesan tampilan anak-anak PAUD dan TK ini menjadi salah satu bukti.

Kesuksesan adalah hasil dari adanya sinergisitas kerja dari komponen-komponen pendukung. Hal inilah yang diajarkan dari sebuah tampilan Tari Bathok beberapa hari silam. Bagaimana tidak, kesuksesan yang diperoleh sang anak saat mementaskan tarian ini bukan hanya kesuksesan dari kerja sang anak sendirian, namun juga merupakan resultan dari kerja komponen-komponen pendukungnya. Sang anak bekerja keras untuk berlatih menghafalkan gerakan demi gerakan yang aan dipentaskan. Proses latihan ini tak bisa dilakukan sang anak sendirian, namun diperlukan komponen pendukung untuk melakukannya. Seorang guru bertindak pula sebagai pelatih. Guru mencotohkan gerakan-gerakan kepada sang anak, lalu dengan sabar melatihnya dalam kurun waktu tertentu, sehingga sang anak telah mampu hafal secara utuh tarian tersebut.


Kesuksesan bukan hanya hasil dari kerja anak-anak dan gurunya, namun juga peran orang tua dan keluarga. Dari rumahlah kostum disiapkan, oleh orang tua dan keluarga. Orang tua dan keluarga juga bekerja sebaik mungkin untuk berkreasi dengan bahan alam maupun barang bekas. Ada yang berkreasi dengan dedaunan, baik daun pisang, daun nangka atau daun kelapa. Ada sebagian pula yang bahan bekas, baik tas kresek, plastik atau kertas bekas. Kreasi ini mempercantik tampilan anak-anak dalam menari, dan tentunya juga menmbah nilai dalam menyukseskan tampilan putra-putri mereka.


Dalam kehidupan pun demikian, kesuksesan bukan hanya diperoleh seorang diri, namun merupakan hasil dari kerja bareng dari pemeran utama dengan komponen-komponen pendukungnya. Sebuah kesuksesan yang diperoleh dari seorang anak, bukan hanya hasil dari kerja kerasnya sendiri, namun juga hasil dari kerja dan dukungan dari orang tua, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sehingga, kesuksesan tidak boleh membuat seseorang menjadi tinggi hati, melainkan haruslah memberikan kesadaran akan pentingnya kolektivitas dalam kerja. [PK]

Kamis, 20 Agustus 2015

Tujuhbelasan yang Dirindukan


Reog yang masih menjadi primadona

Peringatan tujuhbelasan tahun 2015 sudah berangsur usai. Setiap individu kembali dalam rutinitas awal, sekolah kembali aktif setelah sempat terbuai dalam perayaan. Tujuhbelasan memang selalu demikian, gegap gempitanya memaksa seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta larut di dalamnya, tua muda, besar kecil, tak pandang usia dan status sosial. Seluruh elemen masyarakat bersatu untuk memeriahkan peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia. Setiap daerah mempunyai cara masing-masing untuk menyambutnya dan setiap individu mempunyai peran masing-masing dalam memeriahkannya.

Kemeriahan agustusan terkadang menimbulkan kerinduan akan kampung halaman. Kebersamaan yang dulu sempat terjalin karena saling bahu membahu menyukseskan acara kembali terngiang dan terbuka dalam ingatan. Pun nanti, acara agustusan tahun 2015 akan menjadi kenangan yang akan kembali terbuka satu atau beberapa tahun yang akan datang.

Kemeriahan agustusan memang merupakan memori hangat yang pantas dikenang. Setiap individu saling berkompetisi dalam acara-acara yang dikemas apik oleh panitia. Setiap elemen masyarakat saling menunjukkan performa terbaik demi membela desa/instansi yang mengirimnya. Semangat inilah yang nampaknya mengobarkan kembali rasa patriotisme dan nasionalisme yang terkadang tergerus oleh arus  globalisasi yang kian deras terasa.

Kerinduan akan kemeriahan panggung dan stand expo yang senantiasa digelar di lapangan desa Ngadirojo adalah hal yang menjadi kebanggaan. Menengok kembali bagaimana setiap desa/instansi ingin menampilkan expo yang sangat merepresentasikan dirinya. Sebuah expo yang menjadikan citra dari desa atau lembaga yang membuatnya. Expo bukan hanya sebuah stand yang berdiri mengelilingi lapangan, namun lebih jauh, stand adalah pesan yang menunjukkan jati diri sebuah desa/instansi.

Expo PPHBN Kecamatan Ngadirojo tahun 2015

Lomba dan kegiatan eksibisi olahraga juga demikian. Otot dan otak saling disinergikan untuk menjadikan diri sebagai yang terbaik dalam ajang yang diadakan. Teknik dan strategi yang telah dipelajari dicoba untuk diterapkan di lapangan demi mentasbihkan diri menjadi yang terbaik. Lewat sepakbola, bola voli atau sekedar gerak jalan, setiap orang ingin menunjukkan daya eksistensi agar diakui menjadi kampiun dalam kompetisi.

Salah satu peserta lomba gerak jalan (Foto: Juhan)
Bidang seni juga tak kalah nyentrik. Tak hanya mempertandingkan dan menampilkan kesenian yang sudah dikenal masyarakat secara luas, seperti langen tayub, hadroh atau seni tari, terkadang panitia juga mempertandingkan atau menampilkan penampilan yang unik. Seperti yang ditampilkan oleh SDI Nurul Yaqin dalam pentas di panggung kemerdekaan. Sekelompok anak ini mencoba memainkan perkusi dari alat-alat yang bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebut saja galon air mineral dan tempat sampah. Bidang seni mencoba terus melestarikan budaya lewat kompetisi dan eksibisi yang ditampilkan. Reog misalnya, tarian asal kabupaten Ponorogo ini memnjadi salah satu primadona yang menyedot perhatian warga Ngadirojo. Bukan hanya tampilan, panitia juga mencoba mengenalkan dan menanamkan kecintaan warga Ngadirojo terhadap budaya yang ada.

Penari Jathilan dari Desa Ngadirojo
Perayaan bidang seni dan budaya memang sangat kentara dan patut menjadi alasan sebuah kerinduan. Dan kerinduan terkadang mengarahkan kita pada ingatan tentang masa kecil yang begitu gembira. Masa kecil yang penuh keceriaan juga dicoba ditampilkan dalam rangkaian perayaan. Adalah Senam Massal siswa PAUD-TK dari seluruh desa di kecamatan Ngadirojo. Senam yang menggunakan properti tempurung kelapa ini menjadi satu daya tarik tersendiri. Kepolosan anak-anak dicoba ditampilkan, selain show up kepada masyarakat, kegiatan seperti ini baik untuk melatih mentalitas anak-anak.

Senam Bathok ala TK-PAUD se-kecamatan Ngadirojo
Lalu, apakah agustusan selalu membuahkan rindu? [PK]

Rabu, 19 Agustus 2015

Panggung Kemerdekaan di Kecamatan Ngadirojo, Pacitan






Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa setiap daerah mempunyai hal-hal spesifik yang membedakan dengan daerah lain, baik terkait alam maupun kesenian. Indonesia adalah negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan ribuan sub-suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki kekhasan masing-masing, termasuk dalam menyambut  hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Kecamatan Ngadirojo nampaknya salah satu daerah yang konsisten dalam menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia dengan penuh kemeriahaan. Beragam acara telah terangkai beberapa waktu sebelum tanggal tujuh belas, misalnya perlombaan olahraga ataupun perlombaan di bidang seni dan budaya. Puncaknya, didirikan stand expo dari masing-masing desa dan instansi yang ada di wilayah kecamatan Ngadirojo. Expo ini beroperasi dari 17 hingga 19 Agustus dengan memamerkan hal-hal unggulan dari desa/instansi masing-masing. Selain expo, lapangan desa Ngadirojo juga didirikan panggung tempat berekspresi dari generasi bangsa di kecamatan Ngadirojo.

Sanggar Edi Peni berkesempatan show up kemampuan di panggung kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 2015. Dengan menggandeng SMP Negeri 1 Ngadirojo, sanggar Edi Peni menyajikan tari Sanjaya Rangin. Berbeda dengan tampilan sebelumnya, tarian Sanjaya Rangin dikemas dengan sedikit berbeda. Perbedaan paling mencolok nampak dari mahkota yang dikenakan penari dan tata rias rambut. Mahkota yang dipakai nampak lebih mewah daripada tampilan penari Sanjaya Rangin sebelumnya. Sedangkan rambut dibiarkan terurai, ciri khas tarian Jawa Timur.

Tari kedua yang disajikan adalah Tari Topeng Sumur Gedhe. Tarian ini ditarikan oleh lima siswi SMP Negeri 3 Ngadirojo dengan anggun. Tari ini adalah runner up FLS2N Kabupaten Pacitan kategori Cipta Kreasi Tari SMP. Tari Topeng Sumur Gedhe bercerita tentang penunggu danyang Sumur Gedhe yang berada di wilayah Tawang, Sidomulyo.


Kedua tari tersebut menjadi sajian yang memuaskan warga Ngadirojo yang haus dengan tampilan kesenian anak bangsa yang belakangan banyak digeser oleh tari-tari modern yang datang bersama arus globalisasi. Kedua tari tersebut juga merupakan bukti bahwa masih ada anak bangsa yang menjaga dan melestarikan budaya daerah sebagai aset budaya nasional. [PK]