Sabtu, 26 September 2015

Panjidoran

Penampilan Penari Panjidoran Sanggar Edi Peni di MTF 2006


Tari Panjirodan merupakan taria kreasi Raff Dance Company. Salah satu ciri tarian ini adalah adanya akulturasi dengan kesenian Islam, karena masuknya musik hadrah sebagai pengiring tarian. Hadrah merupakan musik yang menyenandungkan tentang keagungan Tuhan serta tugas Nabi Muhammad sebagai penyeru kepada umat manusia. Sanggar Edi Peni Pacitan membawakan tari Panjidoran ini pada tahun 2005-2006. Tari Panjidoran mengantarkan Sanggar Edi Peni Pacitan untuk tampil di Majapahit Travel Fair (MTF) 2006 di Surabaya.

Di Kulon Progo, DI Yogyakarta, berkembang kesenian Panjidor yang mungkin menjadi induk dari tari Panjidoran ini. Kesenian Panjidor di Kulon Progo juga dikenal dengan nama Panjidur. Kesenian ini merupakan seni komunal yang memadukan tari dan musik. Penarinya umumnya adalah laki-laki yang berdandan ala prajurit atau militer, sedangkan musiknya adalah tetabuhan hadrah yang rampak.

Penampilan Penari Panjidoran Sanggar Edi Peni di MTF 2006
Dalam kesenian Panjidor di Kulon Progo, dua tokoh sentral yang diperankan adalah Umarmaya dan Umarmadi. Keduanya merupakan tokoh yang diambil dari Babad Menak. Umarmaya adalah raja, sedangkan Umarmadi adalah patih di kerajaan Menak. Umarmadi umumnya ditampilkan sebagai tokoh yang jenaka berperut buncit.


Penampilan Penari Panjidoran Sanggar Edi Peni di MTF 2006
Konon, kesenian Panjidor diadopsi dari kisah heroik dari tanah Persia yang mengisahkan Wong Agung Jayeng Rana (Amir Hamzah) dalam menyebarkan agama Islam. Kesenian Panjidor sendiri mulai berkembang pasca kemerdekaan dan masih lestari hingga saat ini. Jika ditampilkan dalam jalinan cerita yang utuh, kesenian Panjidor memakan waktu pentas semalam suntuk. [PK]

Selasa, 15 September 2015

Nostalgia dengan Rury Tiara Facitania

Rury Tiara Facitania

Rury Tiara Facitania, dari namanya saja kita sudah bisa menebak bahwa sang orang tua begitu ngefans dengan Pacitan, sehingga nama Pacitan disematkan di akhir nama putrinya. Rury, demikian wanita cantik kelahiran 3 Oktober 1988 ini dipanggil. Ibu dari Damar Wongso Lesono ini adalah penari utama dalam pagelaran tari kolosal Pacitan Bumi Kaloka di Istana Negara tahun 2014 silam. Artikel ini mengetengahkan obrolan bersama Rury, wanita yang sempat dijuluki Dewi Sekartaji karena kepiawaiannya dalam memerankan tokoh tersebut dalam tarian.

Rury dan Sanggar Edi Peni
Rury, sosok wanita cantik yang doyan thiwul dan jenang piteng memang tak bisa dilepaskan dengan Sanggar Edi Peni. Ibu muda yang saat ini berdomisili di Bekasi, Jawa Barat ini merupakann bagian dari perjalanan Sanggar Edi Peni, sebagaimana Sanggar Edi Peni yang juga menjadi sebagian teman dari perjalanan hidup Rury. Rury Tiara Facitania kecil mulai bergabung dengan Sanggar Edi Peni saat masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar.

"Saat itu saya baru pindah dari Wonogiri ke SDN Hadiluwuh I, lalu langsung ikut les tari ke Sanggar Edi Peni.", kenangnya.

Rury menjadi bagian Sanggar Edi Peni selama stay di Lorok. Selepas SD, Rury melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Ngadirojo. Di sekolah ini, ekstrakurikuler tari dibina oleh Sanggar Edi Peni, sehingga kebersamaan itu masih terus terjalin, bahkan hingga saat Rury mengenyam bangku pendidikan di SMA Negeri 1 Ngadirojo.

"Selepas SMA saya pergi ke Bekasi untuk kuliah. Setelah itu sudah tidak nari bareng lagi dengan Sanggar Edi Peni.", tutur Rury.

Penampilan Rury (tengah) dalam tari Galuh Pambuka saat SMA

Banyak Kenangan
Setiap kebersamaan pasti akan menggoreskan kenangan. Kenangan inilah yang akan mendewasakan, kenangan inilah yang akan menimbulkan kerinduan. Lebih dari 10 tahun menjadi anggota aktif Sanggar Edi Peni Pacitan, Rury merasakan sangat banyak kenangan. Belajar dan pentas tari sudah pasti menjadi bagian dari kenangan yang tergoreskan, namun ada hal lain yang terpatri dalam sanubari Rury.

“Sanggar Edi Peni itu keluarga. Pak Ito dan Bu Peni sudah seperti orang tua sendiri.”, kenangnya.


Rasa kekeluargaan inilah yang menjadi sumber kerinduan. Senda gurau, canda dan saling ejek antar teman saat bersama kadang terlitas dan mengundang rasa kangen datang.


Rury bersama penari Sanggar Edi Peni Pacitan dalam Pementasan di TMII Jakarta

Sosok Mandiri
Jika Rury punya kenangan tentang Sanggar Edi Peni, maka Sanggar Edi Peni juga punya kenangan tentang wanita yang menekuni belajar ilmu komunikasi di Universitas Bina Sarana Informatika. Adalah Mama Peni, sapaan anak-anak sanggar kepada Ibu Adi Peni memberikan kesan atas Rury. Beliau menggambarkan Rury sebagai anak yang tidak hanya mengandalkan bakat, namun terus menempa diri menjadi yang lebih baik.

Ibu Adi Peni melanjutkan bahwa darah seni yang mengalir dari Sang Ayah terus diasah. Meskipun harus belajar sendirian, Rury siap dan melaksanakan dengan sepenuh hati.

"Rury tidak pernah bergantung kepada temannya. Dia mandiri dan gigih berusaha.", pungkas Ibu Adi Peni.

Kebersamaan Mama Peni, Rury dan Penari Sanggar Edi Peni Pacitan
Hidup adalah Perjuangan
“Hidup adalah perjuangan.”, quote inilah yang mengawali perbincangan bersama Rury tentang pelajaran hidup yang ia pelajari saat di Sanggar Edi Peni. Ia berkisah tentang kondisi finansialnya yang tidak berkelimpahan, sehingga mengharuskannya menunda membeli beberapa barang yang ia inginkan. Di sini ia mulai belajar untuk menyisihkan uang hasil tanggapan untuk ditabung dan dibelikan barang yang ia inginkan. Ia juga menuturkan bahwa kepiawaiannya menari bisa mengantarkannya menikmati bangku kuliah.

“Sebenarnya ingin kuliah tari di Malang, tapi kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan dengan takdir-Nya yang lain.”, kenangnya.

Rury akhirnya mengambil beasiswa di jurusan Public Relation di Bina Sarana Informatika. Beasiswa ini ia dapatkan dengan prestasinya dalam bidang tari bersama Sanggar Edi Peni, salah satunya sebagai penari Galuh Pambuka yang menyabet Juara I dalam Festival Tari Jawa Timur tahun 2002. Sambil kuliah, Rury aktif menari bersama Sanggar Anjungan Jawa Tengah TMII Jakarta.

Rury bersama sang anak dan suami berpose bersama para penari Sanggar Edi Peni

Nah, demikian obrolan singkat kami dengan Rury Tiara Facitania. Semoga makin sukses untuk Rury dan semoga kita bisa mengambil pelajaran dari perjalanan hidup Rury! [PK]



Senin, 14 September 2015

Tari Galuh Pambuka


Tari Galuh Pambuka Sanggar Edi Peni Pacitan

Setiap tuan rumah senantiasa berupaya untuk menyambut tamu dengan sebaik-baiknya. Dalam ajaran Islam, memuliakan tetamu juga diajarkan sebagai sebuah kegiatan yang akan membawa berkah. Cara menghargai dan memuliakan tetamu menjadi sebuah hal yang bergantung dengan adat dan kebiasaan yang berkembang pada lingkup keluarga dan masyarakat di mana dia tinggal.

Tari Galuh Pambuka merupakan tarian penyambutan yang berfungsi sebagai salah satu cara untuk menyenangkan tamu yang berkunjung dari sebuah instansi atau daerah lain. Tarian ini umumnya ditarikan pada saat tamu penting datang dalam sebuah acara sebagai rangkaian acara penyambutan. Tari Galuh Pambuka merupakan karya dari Bapak Arif Rofiq, seorang koreografer kawakan serta pimpinan Raff Dance Company.

Tari Galuh Pambuka ditarikan oleh sekelompok gadis dengan gerakan indah untuk memukai para tamu yang datang. Jumlah penari disesuikan dengan kebutuhan, misalkan luar area panggung dan tentunya pertimbangan stok penari dari penampil. Penari Galuh Pambuka akan membawa sebuah properti yang berupa seperti nampan kecil dengan berisi bunga atau sejenisnya untuk dilemparkan di panggung sebagai salam pembuka.

Tari Galuh Pambuka merupakan tarian kreasi yang diciptakan sebagai kado dari Raff Dance Company untuk hari jadi Kota Surabaya. Oleh karena itu, dalam lirik musik pengiringnya beberapa kali diceritakan tentang Surabaya sebagai Kota Pahlawan dan tentang kontribusi perjuangan arek-arek Surabaya dalam kemerdekaan bangsa.

Tari Galuh Pambuka Sanggar Edi Peni Pacitan
Sanggar Edi Peni Pacitan telah beberapa kali menampilkan tari Galuh Pambuka dalam pementasan, baik untuk pagelaran maupun dalam ajang perlombaan. Sanggar Tari Edi Peni Pacitan pernah menggandeng SMA Negeri 1 Ngadirojo pada saat lomba dengan menyajikan tari Galuh Pambuka ini, dan hasilnya tim penari sanggar Edi Peni keluar sebagai yang terbaik dari semua penampil lomba. [PK]


Minggu, 06 September 2015

Geger Gunung Slurung

Peta Kecamatan Sudimoro Pacitan (Foto: Seputar Sudimoro)

Peristiwa Geger Gunung Slurung terjadi pada tahun 1930 saat pemerintah Kolonial Belanda mengadakan program Cacah Jiwa (Sensus Penduduk). Peristiwa ini terjadi di desa Klepu kecamatan Sudimoro kabupaten Pacitan. Peristiwa tersebut berawal dari missunderstanding Kromomedjo akan maksud dari program yang dicanangkan pemerintah Belanda tersebut.Konon, ada peringatan atas peristiwa ini yang dikenal dengan upacara Gembluk Kromomedjo.
Daerah Klepu, pada saat itu, adalah daerah yang sangat terisolasi dari peradaban yang telah tercipta. Sebagian besar penduduknya hanya bergantung dari alam di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada fasilitas pendidikan yang memadai, karena sekolah hanya ada di pusat kota atau paling dekat di pusat kawedanan. Adanya barrier ini menyebabkan hampir seluruh penduduk Klepu tuna aksara.
Tahun 1930 pemerintah Belanda melaksanakan program Cacah Jiwa (dalam dialek bahasa Jawa: cacah jiwo) untuk mengetahui data statistik penduduk Indonesia, yang waktu itu masih disebut Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menggandeng pemerintah daerah, yaitu bupati dan wedana (jabatan setingkat lebih tinggi dari camat) untuk menggerakkan masyarakat dalam menyukseskan program ini.
Adalah Kromomedjo, salah satu penduduk Klepu yang memiliki ilmu kanuragan dan sifat keras kepala. Kromomedjo memahami program “cacah jiwa” ini sebagai sebuah program yang akan menyakiti masyarakat, yaitu dengan “mencacah jiwa” dari setiap penduduk. Kromomedjo seketika menyatakan sikap penentangannya terhadap program pemerintah Belanda ini. Mendengar hal tersebut, beberapa petugas lapangan berusaha untuk menjelaskan makna cacah jiwa yang sebenarnya, namun karena sifat keras kepala yang dimilikinya, Kromomedjo tetap bersikeras dengan pemahamannya tersebut.
Pada hari yang ditentukan, Kromomedjo berhasil mengajak sebagian penduduk untuk turut bersembunyi agar tidak menjadi sasaran program cacah jiwa.  Petugas akhirnya melaporkan penolakan program ini kepada bupati Pacitan, yang kala itu dijabat oleh  R. Adipati Harjo Tjokronegoro II. Mendengar laporan tersebut, Bapak bupati turun tangan dan menuju ke tempat persembunyian Kromomedjo dan pengikutnya. Sesampai di tempat persebunyiaannya, Adipati Harjo Tjokronegoro II mengajak Kromomedjo untuk berbicara secara baik-baik. Kromomedjo tetap bersikeras untuk menentang program cacah jiwa tersebut. Tak hanya dengan kata-kata, Kromomedjo juga menentang dengan jalan mengacungkan keris Condong Campur ke arah bupati hingga berhasil mengenai dan melukai Bupati.
Melihat kejadian tersebut, para tentara yang mengiring bupati terpercik amarahnya sehingga memberondongkan peluru ke arah Kromomedjo. Tindakan ini menyebabkan beberapa orang pengikutnya tewas, termasuk kedua saudara Kromomedjo. Kromomedjo sendiri tetap berdiri tegak karena kebal terhadap senjata api. Akhirnya, Kromomedjo dapat diringkus dan dieksekusi setelah tentara mengetahui titik kelemahan Kromomedjo.
Peristiwa tragis di Gunung Slurung inilah yang diiperingati dalam perayaan upacara adat Gembluk Kromomedjo. Dalam perayaan ini, diharapkan agar generasi penerus bangsa menjadi generasi yang cerdas sehingga tidak mudah terpancing amarah karena kesalahfahaman. Dengan modal kecerdasan, seseorang juga dapat melakukan tabayyun (cross check) atas informasi yang diterimanya. [PK]

Kamis, 03 September 2015

Wisata Budaya di Kabupaten Pacitan

Peta Budaya Kabupaten Pacitan

Pacitan adalah sebuah kabupaten di bagian barat daya provinsi Jawa Timur. Pacitan sempat dikenal dengan tagline 'Kota 1001' Goa, namun tahun 2013 lalu, Pemerintah Kabupaten Pacitan kembali menciptakan tagline yang dirasa lebih nyentrik yaitu 'Pacita Paradise of Java'. Dengan tagline ini diharapkan menggenjot pendapatan daerah khususnya di bidang pariwisata.


Usaha ini bukan tanpa dasar, Pacitan adalah salah satu wilayah yang dianugrahi Tuhan dengan begitu banyak keindahan, mulai pantai, goa dan perbukitan yang menjulang. Pantai Klayar adalah pantai yang paling hits belakangan ini, hingga mengundang maestro campursari, Didi Kempot, untuk menciptakan lagu berlatar pantai di kecamatan paling barat ini. Obyek wisata goa yang sempat menjadi andalan masih mengedepankan gua gong dan gua tabuhan sebagai primadona. Obyek wisata lain seperti pendakian Gunung Limo, penelusuran Sungai Maron, pemandian air hangat atau wisata edukasi penangkaran penyu bisa menjadi pilihan.


Obyek wisata bukan hanya karena keindahan yang diciptakan Tuhan, namun juga dapat berupa aktivitas manusia yang membudaya. Tradisi-tradisi yang terus dijaga perlu disaksikan, lebih jauh perlu ditelisik lebih mendalam. Salah satu tradisi yang masih terus dijaga eksistensinya adalah upacara adat. Upacara adat menjadi upaya manusia untuk menyatu dengan alam sebagai anugrah Sang Pencipta. 


Ceprotan adalah upacara adat di Kabupaten Pacitan yang menjadi salah satu primadona. Upacara yang berlatar puji syukur atas kemakmuran desa Sekar, kecamatan Donorojo terus dilestarikan. Upacara lain yang tak kalah tenar adalah Jangkrik Genggong di kecamatan Ngadirojo. Berlokasi di pesisir samudra, aroma mistis nampak dari upacara ini. Bahkan, beberapa karya seni juga berpijak dari upacara yang digelar sekali dalam setahun ini. Beberapa upacara lain adalah Baritan, Mantu Kucing, Badut Sinampurno, Methik Pari dan Jemblung Somopuro.


Tak hanya itu, Pacitan juga masih menyimpan aset wisata lain. Sebut saja Wayang Beber yang menjadi khas dan sempat diabadikan dalam sebuah buku. Selain itu, beberapa cerita rakyat masih berhubungan dengan terciptanya kesenian di wilayah setempat. Edisi mendatang, kami akan coba ketengahkan wisata-wisata budaya lain di Kabupaten Pacitan. Enjoy Pacitan!! [PK]

Rabu, 02 September 2015

Inspirasi Seni dari Upacara Adat Jangkrik Genggong

Upacara Adat Jangkrik Genggong di Tawang kabupaten Pacitan
Upacara Adat Jangkrik Genggong di Tawang kabupaten Pacitan

Manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kemampuan cipta, rasa dan karsa. Kemampuan ini menjadikan menusia mampu mendayagunakan apapun di sekelilingnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Pun dalam bidang seni, salah satu bagian dari kehidupan manusia yang tercipta untuk memenuhi kebutuhan batiniah akan ketenteraman dan keindahan. Seni dilahirkan oleh manusia dan akan ditinggalkan sebagai sebuah kebudayan dari satu peradaban.

Upacara Adat Jangkrik Genggong di Tawang kabupaten Pacitan


Penampilan Sendratari Jangkrik Genggong Sanggar Edi Peni di TMII Jakarta

Upacara Jangkrik Genggong yang melegenda di daerah Tawang, desa Sidomulyo Pacitan juga menjadi sumber inspirasi seni. Beberapa seniman telah melahirkan beberapa karya yang bersumber pada upacara adat ini, termasuk sanggar Edi Peni. Beberapa karya telah lahir berpijak dari cerita rakyat yang berlatar belakang mistis di pesisir selatan Jawa ini.

Penampilan Sendratari Jangkrik Genggong Sanggar Edi Peni di HUT Pacitan

Jangkrik Genggong pertama kali diangkat ke dalam sendratari tahun 2003 oleh sanggar Edi Peni. Pada tahun tersebut, sendratari Jangkrik Genggong ditampilkan dalam puncak peringatan Hari Jadi Kabupaten Pacitan tahun 2003. Selanjutnya, sendratari Jangkrik Genggong garapan Sanggar Edi Peni menjadi wakil kabupaten Pacitan dalam Lomba Seni Pertunjukkan di Suarabaya. Dalam ajang tersebut, sendratari Jangkrik Genggong masuk dalam jajaran 10 Penyaji Terbaik. Masih di tahun 2003, sendratari Jangkrik Genggong berkesempatan untuk tampil di anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Turun full team, sendratari tersebut menceritakan secara utuh dari kemagisan acara di pesisir Laut Tawang, Sidomulyo tersebut.

Sosok Wonocaki dan Rogobahu (Penampilan Sendratari Jangkrik Genggong Sanggar Edi Peni di TMII Jakarta)
Penampilan Sendratari Jangkrik Genggong Sanggar Edi Peni di TMII Jakarta

Sukses dengan tema besar kisah Jangkrik Genggong, Sanggar Edi Peni mencoba menyajikan legenda tersebut dalam fragmen-fragmen tari yang tak kalah menarik. Sebelas tahun pasca pementasan perdana sendratari Jangkrik Genggong, lahirlah tari Gadhung Mlathi. Tarian ini menggambarkan sosok centil yang suka jahil dan merasuki warga yang memakai baju dengan warna-warna yang ia senangi. Gadhung Mlathi akan merasuk dan ngedan. Pada puncaknya, Gadhung Mlathi minta diadakan tayuban lengkap dengan sesaji yang ada. Kisah lengkap tentang tari Gadhung Mlathi bisa dilihat di sini.

Tari Gadhung Mlathi yang bersumber dari Legenda Jangkrik Genggong

Tahun ini, tercipta tiga buah tari yang bersumber dari upacara adat Jangkrik Genggong. Tari Topeng Sumur Gedhe adalah tari yang pertama. Tarian ini mnceritakan sosok penunggu pepunden Sumur Gedhe, yaitu Gadhung Mlathi. Karakter tariannya memang serupa dari tari Gadhung Mlathi, namun perbedaannya, tarian ini menggunakan properti topeng dalam penampilannya. Topeng dibuat sedemikian rupa hingga menggambarkan sosok Gadhung Mlathi yang cantik, jahil dan enerjik. Artikel lengkap tentang tari Topeng Sumur Gedhe bisa dilihat di sini.

Tari Topeng Sumur Gedhe yang bersumber dari Legenda Jangkrik Genggong

Karya kedua tahun 2015 ini adalah Tari Topeng Wonocaki. Berbeda dengan Gadhung Mlathi yang berkarakter sebagai perempuan, Wonocaki adalah sosok gagah penguasa pepunden  Teren. Wonocaki diceritakan sebagai sosok yang berwibawa dan cinta terhadap tanah air. Kecintaannya kepada tanah air digambarkan dengan sikap yang gagah dan siap sedia dalam membela Ibu Pertiwi. Jika Anda tertarik untuk membaca lebih jauh, deskripsi karya tari Topeng Wonocaki ada di dalam tautan berikut.

Tari Topeng Wonocaki yang bersumber dari Legenda Jangkrik Genggong
Sendratari Genggongan Mangslup yang bersumber dari Legenda Jangkrik Genggong

Sosok Wonocaki, sang penguasa pepunden Teren kembali dijadikan sebagai inspirasi tarian,yaitu sendratari Genggongan Mangslup. Tarian ini menunjukkan kewibawaan Wonocaki dalam mengatasi huru-hura yang disebabkan Gadhung Mlathi sedang menggila. Dikisahkan dalam sendratari ini, Gadhung Mlathi sedang gundhah gulana dan menginginkan adanya tayuban, namun tidak disetujui oleh Rogo Bahu. Karena keinginannya tidak dituruti, Gadhung Mlathi mangslup (merasuk) ke dalam raga manusia dan menyebabkan kekacauan. Wonocaki ditugaskan untuk mengatasi kekacauan itu. Kisah lebih lengkap bisa Anda baca dengan mengunjungi tautan berikut. [PK]


Selasa, 01 September 2015

Upacara Adat Jangkrik Genggong



Upacara adat Jangkrik Genggong di Tawang Pacitan (Foto: Doc. Pacitan)

Jangkrik Genggong merupakan upacara adat di dusun Tawang desa Sidomulyo kecamatan Ngadirojo kabupaten Pacitan. Upacara adat ini dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu tiap hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih) bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah). Penamaan Jangkrik Genggong diambil dari gendhing tayub klangenan (kesukaan) dari Wonocaki, salah satu sosok yang dipercaya warga setempat sebagai danyang punden (makhluk halus penunggu tempat yang dikeramatkan).

Pelaksanaan upacara adat Jangkrik Genggong dilengkapi dengan sesaji yang berupa krawon kemadhuk, bothok iwak pajung (kakap merah), dan tlethong jaran putih (kotoran kuda putih). Sesaji yang ada nantinya akan dibawa untuk prosesi doa oleh sesepuh adat daerah setempat. Konon, iwak pajung akan melimpah di laut setempat sesaat sebelum acara Jangkrik Genggong dilaksanakan. Setelah prosesi acara, umumnya nelayan akan panen ikan dalam skala yang lebih besar dari biasanya. Sebagian masyarakat percaya bahwa seorang anak laki-laki yang siap untuk melaut kali pertama harus mengikuti acara Jangkrik Genggong terlebih dahulu.

Upacara adat Jangkrik Genggong di Tawang Pacitan (Foto: Doc. Pacitan)

Cerita rakyat Jangkrik Genggong dilatarbelakangi oleh adanya beberapa pepunden di daerah Tawang, Sidomulyo. Setiap pepunden tersebut memiliki sosok penguasa (dalam bahasa Jawa disebut seng mbahurekso) masiing-masing, misalnya Rogo Bahu menguasai Glandhang Plawangan, Gadhung Mlathi menguasai Sumur Gedhe, Mangku Negara menguasai Sumur Pinggir dan Wonocaki menguasai Teren. Masing-masing sosok penguasa tersebut akan merasa nyaman jika masyarakat setempat melaksanakan agenda tahunan bersih desa dan dilanjutkan dengan tayuban. Setiap sosok penguasa memiliki gendhing klangenan masing-masing sesuai dengan karakter dan selera sosok seng mbahurekso tersebut.

Upacara adat Jangkrik Genggong secara utuh dimulai satu hari sebelum puncak acara, yaitu hari Senin Wage (Soma Cemeng). Pada hari Senin Wage tersebut, seluruh warga melakukan agenda bersih desa, terutama membersihkan pepunden yang ada. Pada malam harinya, diadakan acara tirakatan bersama seluruh warga dusun.

Upacara adat Jangkrik Genggong di Tawang Pacitan (Foto: Doc. Pacitan)

Acara dilanjutkan pada Selasa Kliwon pagi, di mana setiap warga akan membawa encek yang berisi tumpeng. Bagi warga yang memiliki sukerto (misalnya akan melakukan tradisi ruwatan atau memiliki ujar) akan membawa sesaji sesuai dengan aturan yang ada. Seluruh sesaji dan tumpeng dikumpulkan dalam suatu tempat dan selanjutnya sesepuh adat akan melakukan doa atas tumpeng dan sesaji yang terkumpul. Sesaji yang telah didoai selanjutnya diantar ke masing-masing pepunden. Acara dilanjutkan dengan kembul bujana (makan bersama) oleh seluruh warga masyarakat.


Upacara adat Jangkrik Genggong di Tawang Pacitan (Foto: Doc. Pacitan)


Tayub dilaksanakan sebagai penutup acara. Sebelum agenda tayuban bagi warga masyarakat, dilakukan tayub sakral yang diperankan oleh lima orang lelaki asli dusun Tawang, Sidomulyo. Kelima lelaki ini merupakan pengejawantahan sosok penguasa pepunden yang ada. Secara berurutan, kelima lelaki yang memerankan Rogo Bahu, Gambir Anom, Sumur Wungu dan diakhiri Wonocaki melaksanakan tayub dengan gendhing klangenan masing-masing. Gendhing tersebut antara lain cakra negara, samirah, godril, ijo-ijo dan diakhiri dengan gendhing jangkrik genggong.