Rabu, 26 Agustus 2015

Upacara Adat Mantu Kucing di Pacitan


Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Wem)

Upacara adat Mantu Kucing merupakan bagian dari budaya di desa Purworejo kecamatan Pacitan kabupaten Pacitan. Desa ini berada kurang lebih tiga kilometer di sebelah timur dari pusat Kota Pacitan. Wilayah desa Purworejo didominasi oleh area persawahan dengan beberapa bukit dan aliran anak sungai Grindulu, sungai terbesar yang mengalir di kecamatan Pacitan. Kondisi alam demikian sangat mendukung mata pencaharian sebagian besar penduduknya sebagai petani.

Petani dan alam adalah sebuah kesatuan. Petani harus memahami alam aga menjadikan alam sebagai faktor pendukung dalam menjalankan profesi di bisang agraria ini. Namun terkadang, alam berperan sebagai faktor penghambat bagi para petani untuk berkarya. Sebagai contoh, datangnya musim kemarau yang berkepanjangan menjadikan debit air berkurang bahkan dapat menyebabkan kekeringan. Kondisi ini menjadi penghalang bagi petani untuk menanam padi atau tanaman lainnya.

Entah sejak kapan, di desa Purworejo kecamatan Pacitan berkembang tradisi untuk masalah kemarau panjang yang terjadi. Upaya ini dilakukan dengan menjalankan sebuah upacara yang bertujuan untuk meminta diturunkannya hujan. Tradisi ini dipercaya sudah berkembang sejak zaman animisme dan dinamisme. Saat ini, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun tradisi ini masih dipegang teguh oleh para warga. Hanya saja, doa yang dipanjatkan berpindah haluan, jika dahulu doa yang dipanjatkan ditujukan kepada roh halus, roh leluhur atau makhluk yang mbahurekso wilayah ini, kini doa ditujukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Upacara adat mantu kucing tidak ubahnya seperti prosesi pernikahan manusia. Kedua kucing yang akan dinikahkan juda disebut sebagai manten (pengantin) dan dipakaiakan mahkota dari janur kuning. Kucing betina berasal dari desa Purworejo, sedangkan sang pejantan diambilkan dari desa tetangga, umumnya dari desa Arjowinangun. Upacara ini dilaksanakan di tepi sungai, perbatasan antara asal kucing betina dan jantan. Sesepuh desa menjelaskan bahwa maksud pemilihan tempat ini agar sungai yang dijadin tempat upacara akan segera dialiri air yang berasal dari air hujan sebagai hasil dari proses permohonan turunnya hujan ini.

Calon mempelai wanita dipilih kucing betina yang sudah dewasa  tapi belum pernah beranak. Kucing betina memiliki rambut (bulu) coklat halus, berbadan sehat dan asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon mempelai laki-laki dipilih kucing jantan dewasa yang diperkirakan belum pernah mengawini kucing betina manapun. Kucing jantan juga dipilih yang memiliki warna rambut (bulu) coklat halus dan berbadan sehat. Kucing jantan ini merupakan kucing yang dipelihara oleh warna desa tentangga, umumnya berasal dari desa Arjowinangun.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Upacara dimulai dengan proses membawa mempelai wanita ke tempat acara dengan menggunakan tandu. Setelah mempelai laki-laki datang, dilakukan jemuk (temu manten) dengan disertai dengan penyerahan mahar dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Mahar pernikahan ini berupa pedangiran (gentong yang terbuat dari tanah liat). Barang ini dipilih sebagai simbol bahwa warga setempat sudah siap untuk menerima turunnya hujan. Mahar diserahkan oleh seorang wanita (Ibu kepala desa Arjowinangun) kepada seorang laki-laki (Bapak kepala desa Purworejo). Selanjutnya, kedua pengantin didudukkan bersanding di tandu mempelai wanita dan diarak menuju tepi sungai.

Upacara dilanjutkan dengan proses memandikan kedua mempelai. Kedua mempelai (kucing betina dan jantan) diserahkan kepada sesepuh desa, selanjutnya sesepuh desa-lah yang memandikan kedua mempelai dengan air bunga. Proses ini bertujuan untuk mensucikan tubuh kedua mempelai sebelum memasuki prosesi akad nikah. Setelah kedua mempelai dimandikan, kedua mempelai dinikahkan dengan ijab diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan qobul diucapkan oleh sesepuh desa. Akad nikah ditutup dengan pemanjatan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa.

Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan)

Acara dilanjutkan dengan ngalap berkah berupa proses kembul bujana punar (makan bersama nasi kuning).  Secara bergantian, seluruh hadirin mengambil nasi kuning (punar) yang dibuat dalam bentuk tumpeng. Proses makan ini dipercaya akan mendatangkan berkah baik berupa hujan, maupun berkah yang lain. Selanjutnya, acara diakhiri dengan acara saling memberikan sungkem dari pihak mempelai laki-laki dan wanita. Kedua mempelai selanjutnya dimasukkan dalam kandang dan dipingit hingga tujuh hari atau sampai hujan turun. Setelah hujan turun, kedua kucing dipelihara selayaknya kucing peliharaan.

Pro dan kontra senantiasa menjadi bagian dari sebuah hal, termasuk upacara adat mantu kucing ini. Bagi masyarakat yang pro menganggap bahwa melaksanakan acara ini merupakan upaya untuk melestarikan budaya dan menghormati para leluhur. Namun, bagi pihak yang kontra menganggap bahwa acara ini merupakan praktik bid’ah yang mengarah timbulnya penyekutuan terhadap kekuasaan Allah SWT.

Demikianlah manusia, senantiasa dihadapkan pada hal-hal yang kontradiktif, pro-kontra, hitam-putih, gelap-terang. Kebijaksanaan manusia-lah yang diharapkan mampu untuk bertenggang rasa dan saling menghormati pendapat dan kepercayaan masing-masing, sehingga kedua hal yang kontradiktif ini bisa saling berjalan beriringan tanpa merugikan satu sama lain. [PK]


2 komentar:

  1. Cukup menarik dan komperhensif mas..
    Tapi saya mau bertanya, apakah ritual tersebut hingga sekarang masih ada dan dilaksanakan masyarakat?

    Lantas, bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi ritual adat tersebut?

    BalasHapus
  2. Cukup menarik dan komperhensif mas..
    Tapi saya mau bertanya, apakah ritual tersebut hingga sekarang masih ada dan dilaksanakan masyarakat?

    Lantas, bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi ritual adat tersebut?

    BalasHapus