Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Wem) |
Upacara adat Mantu Kucing
merupakan bagian dari budaya di desa Purworejo kecamatan Pacitan kabupaten
Pacitan. Desa ini berada kurang lebih tiga kilometer di sebelah timur dari
pusat Kota Pacitan. Wilayah desa Purworejo didominasi oleh area persawahan
dengan beberapa bukit dan aliran anak sungai Grindulu, sungai terbesar yang
mengalir di kecamatan Pacitan. Kondisi alam demikian sangat mendukung mata
pencaharian sebagian besar penduduknya sebagai petani.
Petani dan alam adalah sebuah
kesatuan. Petani harus memahami alam aga menjadikan alam sebagai faktor
pendukung dalam menjalankan profesi di bisang agraria ini. Namun terkadang,
alam berperan sebagai faktor penghambat bagi para petani untuk berkarya.
Sebagai contoh, datangnya musim kemarau yang berkepanjangan menjadikan debit
air berkurang bahkan dapat menyebabkan kekeringan. Kondisi ini menjadi
penghalang bagi petani untuk menanam padi atau tanaman lainnya.
Entah sejak kapan, di desa
Purworejo kecamatan Pacitan berkembang tradisi untuk masalah kemarau panjang
yang terjadi. Upaya ini dilakukan dengan menjalankan sebuah upacara yang
bertujuan untuk meminta diturunkannya hujan. Tradisi ini dipercaya sudah
berkembang sejak zaman animisme dan dinamisme. Saat ini, meskipun mayoritas
penduduknya beragama Islam, namun tradisi ini masih dipegang teguh oleh para
warga. Hanya saja, doa yang dipanjatkan berpindah haluan, jika dahulu doa yang
dipanjatkan ditujukan kepada roh halus, roh leluhur atau makhluk yang mbahurekso wilayah ini, kini doa
ditujukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Upacara adat mantu kucing tidak
ubahnya seperti prosesi pernikahan manusia. Kedua kucing yang akan dinikahkan
juda disebut sebagai manten (pengantin)
dan dipakaiakan mahkota dari janur kuning. Kucing betina berasal dari desa
Purworejo, sedangkan sang pejantan diambilkan dari desa tetangga, umumnya dari
desa Arjowinangun. Upacara ini dilaksanakan di tepi sungai, perbatasan antara
asal kucing betina dan jantan. Sesepuh desa menjelaskan bahwa maksud pemilihan
tempat ini agar sungai yang dijadin tempat upacara akan segera dialiri air yang
berasal dari air hujan sebagai hasil dari proses permohonan turunnya hujan ini.
Calon mempelai wanita dipilih
kucing betina yang sudah dewasa tapi
belum pernah beranak. Kucing betina memiliki rambut (bulu) coklat halus,
berbadan sehat dan asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon
mempelai laki-laki dipilih kucing jantan dewasa yang diperkirakan belum pernah
mengawini kucing betina manapun. Kucing jantan juga dipilih yang memiliki warna
rambut (bulu) coklat halus dan berbadan sehat. Kucing jantan ini merupakan
kucing yang dipelihara oleh warna desa tentangga, umumnya berasal dari desa
Arjowinangun.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Upacara dimulai dengan proses
membawa mempelai wanita ke tempat acara dengan menggunakan tandu. Setelah
mempelai laki-laki datang, dilakukan jemuk
(temu manten) dengan disertai dengan penyerahan mahar dari mempelai
laki-laki kepada mempelai wanita. Mahar pernikahan ini berupa pedangiran (gentong yang terbuat dari
tanah liat). Barang ini dipilih sebagai simbol bahwa warga setempat sudah siap
untuk menerima turunnya hujan. Mahar diserahkan oleh seorang wanita (Ibu kepala
desa Arjowinangun) kepada seorang laki-laki (Bapak kepala desa Purworejo).
Selanjutnya, kedua pengantin didudukkan bersanding di tandu mempelai wanita dan
diarak menuju tepi sungai.
Upacara dilanjutkan dengan proses
memandikan kedua mempelai. Kedua mempelai (kucing betina dan jantan) diserahkan
kepada sesepuh desa, selanjutnya sesepuh desa-lah yang memandikan kedua
mempelai dengan air bunga. Proses ini bertujuan untuk mensucikan tubuh kedua
mempelai sebelum memasuki prosesi akad nikah. Setelah kedua mempelai
dimandikan, kedua mempelai dinikahkan dengan ijab diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan qobul diucapkan oleh sesepuh desa. Akad nikah ditutup dengan
pemanjatan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Acara dilanjutkan dengan ngalap berkah berupa proses kembul bujana punar (makan bersama nasi
kuning). Secara bergantian, seluruh
hadirin mengambil nasi kuning (punar)
yang dibuat dalam bentuk tumpeng. Proses makan ini dipercaya akan mendatangkan
berkah baik berupa hujan, maupun berkah yang lain. Selanjutnya, acara diakhiri
dengan acara saling memberikan sungkem
dari pihak mempelai laki-laki dan wanita. Kedua mempelai selanjutnya dimasukkan
dalam kandang dan dipingit hingga tujuh hari atau sampai hujan turun. Setelah
hujan turun, kedua kucing dipelihara selayaknya kucing peliharaan.
Pro dan kontra senantiasa menjadi
bagian dari sebuah hal, termasuk upacara adat mantu kucing ini. Bagi masyarakat
yang pro menganggap bahwa melaksanakan acara ini merupakan upaya untuk
melestarikan budaya dan menghormati para leluhur. Namun, bagi pihak yang kontra
menganggap bahwa acara ini merupakan praktik bid’ah yang mengarah timbulnya penyekutuan terhadap kekuasaan Allah
SWT.
Demikianlah manusia, senantiasa
dihadapkan pada hal-hal yang kontradiktif, pro-kontra, hitam-putih,
gelap-terang. Kebijaksanaan manusia-lah yang diharapkan mampu untuk bertenggang
rasa dan saling menghormati pendapat dan kepercayaan masing-masing, sehingga
kedua hal yang kontradiktif ini bisa saling berjalan beriringan tanpa merugikan
satu sama lain. [PK]
Cukup menarik dan komperhensif mas..
BalasHapusTapi saya mau bertanya, apakah ritual tersebut hingga sekarang masih ada dan dilaksanakan masyarakat?
Lantas, bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi ritual adat tersebut?
Cukup menarik dan komperhensif mas..
BalasHapusTapi saya mau bertanya, apakah ritual tersebut hingga sekarang masih ada dan dilaksanakan masyarakat?
Lantas, bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapi ritual adat tersebut?