Dalam sebuah peradaban,
kebudayaan merupakan hal yang ditinggalkan dan dapat dipelajari oleh peradaban
selanjutnya. Kebudayaan adalah sebuah kekayaan abadi, ia akan tetap ada
meskipun penciptanya telah tiada. Seorang antropolog Clifford Geertz
mengungkapkan ada tiga unsur pembentuk kebudayaan, yaitu sistem simbol, sistem
nilai dan sistem pengetahuan. Relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem
makna yang dapat berfungsi sebagai pengejawantah simbol yang akhirnya dapat
menjadi sebuah pijakan dari lahirnya sistem nilai dan sistem pengetahuan dalam
sebuah kebudayaan secara utuh. Sehingga dapat dipahami bahwa setiap kebudayaan
akan meninggalkan simbol-simbol kejayaan atas peradaban yang mereka bangun.
Keris adalah simbol kejayaan
peradaban, seperti halnya hasil kebudayaan lain, seperti wayang dan reog
ponorogo. Keris menjadi salah satu kebanggaan Indonesia, karena di sinilah
keris mulai ada dan dicipta. UNESCO, sebuah badan PBB yang menangani pendidikan
dan kebudayaan, akhirnya mengakui bahwa keris merupakan warisan budaya dunia
milik Indonesia pada tahun 2005.
Saat ini, keris adalah sebuah
bentuk eksistensi sebuah makna, bukan sekedar sebuah senjata atau benda. Sebagaimana
rencong di tanah Aceh, atau tapis dari daratan Lampung. Keris menyimpan
berbagai makna mendalam tentang kehidupan. Makna-makna tersebut dikandung dalam
bentuk morfologi, ukiran atas keris dan warangka keris tersebut.
Keris sendiri telah dipercaya ada
sejak abad ke-9, dengan dibuktikan adanya penemuan Prasasti Karangtengah (824 M)
yang menyebutkan keris sebagai salah satu peralatan hidup pada masa itu. Selanjutnya,
tahun 904 M dinyatakan keris merupakan bagian dari ritual sesaji dalam
persembahan yang tertuang dalam Prasasti Poh. Saat ini, keris dapat dijumpai di
hampir seluruh dataran tanah Melayu.
Manusia adalah makhluk yang
dicipta untuk mau belajar. Hasil pembelajaran ini tertuang dalam setiap
perkembangan kehidupan dan peradaban yang manusia ciptakan, termasuk halnya
keris. Keris memiliki mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk maupun
makna yang terkandung di dalamnya. Keris modern dipercaya dimulai antara abad
ke-12 dan ke-13, yaitu pada masa kerajaan Kediri-Singasari. Adalah Keris Pusaka
Knaud, keris Buda atau keris Sombro yang berpamor sederhana banyak dianggap
sebagai cikal bakal keris modern. Keris ini juga nampak pada relief Candi
Penataran di Blitar.
Keris Pusaka Knaud (sumber: wikipedia) |
Kebudayaan terkait keris
berkembang pesat dari masa ke masa. Pada masa kerajaan Majapahit (abad ke-14)
banyak dipercaya merupakan tonggak awal di mana keris memperoleh bentuknya yang
modern. Relief yang digambarkan pada candi Sukuh menerangkan tentang seorang
mpu yang sedang menempa besi dengan berlatar belakang keris. Namun
seseungguhnya, pada abad ke-11 keris modern telah dikenal di Nusantara,
tepatnya di kerajaan Sriwijaya, sebagaimana yang digambarkan dalam relief candi
Bahal.
Pada sebuah naskah Sunda bertahun
1440 Saka (1518 M) disebutkan bahwa keris merupakan senjata dari para prabu.
Prabu adalah sebutan bagi para raja dan para ksatria. Dalam naskah yang
dikemukakan oleh Sanghyang Siksakandang Karesainpupuh XVII tersebut juga
menggolongkan sistem persenjataan berdasarkan kasta sosial di mana para raja
dan ksatria akan bersenjatakan keris, pamuk, peso teundeut, dan golok;
sedangkan golongan petani adalah kaum yang bersenjatakan kujang, baliung, patik
dan kored; terakhir golongan para pendeta memiliki senjata berupa kala katri,
peso raut, pangot dan pakisi.
Keris semakin menunjukkan
eksistensi sebagai senjata bagi kaum lelaki, terlebih bagi masyarakat Jawa. Tome
Pires, seorang penjelajah berkebangsaan Portugis menerangkan dalam “Suma
Oriental” bahwa pada abad ke-16, setiap laki-laki di Jawa, baik kaya maupun
miskin, harus memliki sebilah keris di rumahnya. Lebih lanjut, Tome Pires
menuliskan bahwa keris selalu diselipkan di punggung dan selalu dipakai oleh
laki-laki yang berusia 12-80 tahun ke manapun mereka pergi. Penggunaan keris
sebagai simbol maskulinitas semakin menguat dan meluas hingga abad ke-19.
Penggunaan keris mulai pudar pada
abad ke-19 seiring penggunaan senjata api yang kian meluas. Peran keris mulai
bergeser, demikian pula terkait idealisme Jawa “lelaki sempurna” yang
mewajibkan membawa keris sebagai simbol pegangan ilmu dan bekal hidup. Saat
ini, keris dianggap sebagai tosan aji, benda logam yang luhur. Keluhuran keris
tercermin pada penghormatan yang diberikan kepada keris dan tosan aji lainnya,
seperti tombak. Saat ini, keris digunakan sebagai pelengkap busana Jawa,
misalnya pada acara pernikahan.
Bagaimanapun, keris adalah hasil
budaya dari para leluhur yang wajib untuk terus dijaga dan dilestarikan.
Bersambung... [PK]
Sumber:
2. http://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/38-kamus-dan-leksikon/226-kawi-jarwa-dirjasupraba-1931-1263
Tidak ada komentar:
Posting Komentar