Sistem Penanggalan Masehi yang dilengkapi dengan Penanggalan Hijriyah dan Jawa |
Bulan Selo merupakan bulan
kesebelas dalam penanggalan Jawa yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan
Agung di Kerajaan Mataram Islam. Bulan selo dikenal juga dengan istilah bulan
Longkang, sedangkan dalam penanggalan hijriyah dikenal dengan nama Dzulqo’dah
(Dulkangidah, dalam pengucapan Jawa). Jika kita cermati kehidupan dalam
bermasyarakat, khususnya dalam masyarakat Jawa, ada beberapa keunikan yang
terjadi di bulan Selo ini. Bulan Selo adalah bulan terlarang bagi masyarakat
Jawa untuk menggelar acara hajatan besar, baik untuk pernikahan ataupun
khitanan. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bulan Selo untuk melakukan acara
bersih desa lengkap dengan sedekah bumi dan upacara adat lainnya.
Kata selo berarti batu yang berhubungan dengan lemah (tanah). Makna kata selo
ini dihubungkan dengan nama lain dari bulan Dulkangidah dalam penanggalan Jawa
Kuno. Pada penanggalan tersebut, penamaan musim kesebelas adalah Hapit Lemah, sehingga bulan Selo juga
dikenal dengan bulan Apit. Makna kata selo
yang berhubungan dengan tanah ini mungkin menjawab pertanyaan tentang alasan
dilaksanakannya sedekah bumi pada bulan ini.
Bulan Selo dalam Kalender Jawa |
Dalam tatanan bahasa Jawa,
dikenal dengan istilah Kereta Basa,
yang menungkinkan mengartikan makna sebuah kata dengan menguraikannya. Misalkan
kata gedhang (pisang) dalam aturan Kereta Basa diartikan sebagai digeget bar madhang (dinikmati setelah
makan). Contoh lain adalah kata gelas
yang diartikan sebagai yen tugel ora bisa
di las (jika patah tak dapat lagi di-las/disambungkan). Demikian juga
dengan kata selo, kata ini juga
memiliki makna dalam tata aturan kereta
basa yang sangat berpengaruh dengan karakter bulan ini dalam masyarakat
Jawa. Kata selo diartikan sebagai seselane olo atau kesesel barang olo. Kedua makna dalam kereta basa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang olo (kejelekan/keburukan). Makna ini
selanjutnya dipercaya oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga masyarakat Jawa tidak akan menunaikan hajat pada bulan yang dianggap
penuh dengan hal-hal buruk.
Makna lain bulan Selo dapat
dilihat dari nama asli bulan Selo dalam istilah Arab. Kalender Jawa merupakan
adaptasi antara budaya Jawa dan budaya Islam, sehingga perlu ditelusuri makna
kata selo dalam bahasa alinya. Sultan
Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa pada tahun 1547 Saka (1035 Hijriah
atau tahun 1625 Masehi). Bulan Selo dalam penanggalan Islam disebut bulan Dzulqo’dah.
Dalam bahasa Arab, kata qo’idah
berasal dari kata qo’ada yang berarti
duduk. Makna kata qo’adah ini
dikaitkan dengan perintah untuk duduk bersila dan memperbanyak dzikir pada
bulan ini. Dimungkinkan ada penyalahtangkapan makna qo’adah dari sila menjadi
selo.
Dalam sistem kalender Islam, Dzulqo’dah
merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan di mana umat muslim tidak
diperbolehkan perang pada bulan ini (QS. At-Taubah:36). Larangan akan dilakukan
perang inilah yang mungkin digeneralisasi sebagai larangan untuk melakukan
hajat baik pada bulan ini. Sebagian keterangan para ulama juga menghubungkan
kemuliaan bulan Selo (Dzulqo’dah) dengan bulan untuk menapaktilasi semangat
nabi Musa (QS Al A’raf:142), sehingga pada bulan ini umat muslim diperintahkan
untuk merenung dan duduk bersila sembari membaca dzikir dan memanjatkan doa.
Bulan Selo dikenal pula dengan
istilah Longkang. Kata longkang dalam
bahasa Jawa diartikan sebagai gang sempit di antara dua rumah. Dahulu,
masyarakat Jawa memegang teguh prinsip bahwa air hujan dari genting rumahnya
harus jatuh di tanahnya sendiri, sehingga orang Jawa akan memberikan space kosong pada keempat sisi tanah
yang dibangun rumah. Prinsip ini memberikan dampak nyata bahwa antara satu
rumah dengan rumah tetangga terdekat tidak saling berhimpitan. Space terbuka antara kedua rumah inilah
yang disebut sebagai longkoang. Jika
dikaitkan dengan penanggalan Jawa, bulan Longkang merupakan bulan anatara dua
hari raya. Bulan kesepuluh dalah penanggalan Jawa adalah Sawal (Syawal) yang di
dalamnya terdapat hari raya Idul Fitri, sedangkan bulan kedua belas adalah
bulan Besar (Dzulhijjah) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha.
Jelaslah bahwa kata longkang berarti space waktu yang kosong tanpa adanya
hari raya.
Space waktu kosong (longkang) di antara dua hari raya hendaknya
digunakan secara maksimal oleh masyarakat Jawa. Leluhur Jawa mencontohkan acara
bersih desa pada bulan ini. Acara bersih desa mulai ada dan berkembang sejak
era anismisme dan dinamisme menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Jawa.
Bersih desa dilakukan semata-mata untuk memberikan hak perhormatan kepada
leluhur yang telah babad alas dan memberikan berkah melimpah pada desa
tersebut. Pesan dari kegiatan bersih desa adalah upaya untuk mendekatkan diri
kepada Sang Mahakuasa, bukan hanya kegiatan bersenang-senang yang banyak
dilakukan pada bulan-bulan yang mengapitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar