Keris |
Sejarah adalah bukti nyata akan perjalanan
manusia, sehingga tidak salah jika ada pesan untuk tidak melupakan sejarah.
Dari tulisan-tulisan yang tergoreskan oleh sejarah, generasi sekarang dapat
melakukan evaluasi terkait apa yang dilakukan generasi terdahulu. Demikian pula
bagi generasi mendatang, setiap generasi memang diharapkan mampu mengambil
pelajaran dari kehidupan generasi sebelumnya. Hal-hal yang dirasa perlu untuk
diperhatankan, harus dipertimbangkan benar terkait manfaatnya pada keharmonisan
kehidupan pada zaman yang tak lagi sama. Hal-hal yang menyebabkan kehancuran
generasi sebelumnya harus dicermati, sehingga hal-hal tersebut tidak
menyebabkan kehancuran pada generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Sejarah merupakan cerita manis dan pahit
kehidupan. Sejarah terangkum dari hal-hal besar hingga detail tentang sebuah
kehidupan. Bagi masyarakat Jawa, keris tak dapat dipisahkan dari perjalan
peradaban yang dibangun sejak zaman prasejarah. Keris hadir dan turut
berkembang bersama peradaban. Bentuk, fungsi dan makna filosofis keris juga
berkembang seiring perubahan pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan
masyarakat Jawa.
Keris menjadi bukti sejarah akan hal-hal yang
terkadang ada di luar nalar manusia pada umumnya. Keris juga menjadi bukti
perebutan kekuasaan pada kerajaan-kerajaan tertentu. Oleh karena begitu
lekatnya keris dengan pola kehidupan manusia Jawa, saat ini pun masih banyak
perdebatan atas keris dan segala hal yang melekat padanya.
Keris memang benda yang penuh filosofi, baik
atas morfologi keris itu sendiri maupun cara penggunaan dari sebilah keris.
Pada masa damai, keris umumnya diselipkan di pinggang, berbeda dengan pada masa
perang, keris diselipkan di bagian depan tubuh yang menunjukkan sikap
kesiapsiagaan atas apa yang akan terjadi pad perang tersebut. Pemilihan
warangka yang digunakan pada masa damai dan perang juga berbeda. Pada masa
damai, warangka ladrang banyak dipakai, sedangkan warangka gayaman yang lebih
sederhana banyak digunakan pada masa perang karena alasan kepraktisannya.
Posisi Menggunakan Keris (Sumber: Tjokro Suharto) |
Lebih lanjut, posisi pemakaian keris dapat
digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut (Tjokro Suharto):
1.
Klabang Pinipit
Merupakan
posisi memakai keris yang benar di Yogyakarta. Di Surakarta, posisi penggunaan
keris seperti ini disebut dengan “ngogleng”.
Pada pemakaian dengan posisi “klabng pinipit” ini, dikenal dua istilah
lain, yatu “mangking” dan “netep”. Posisi “mangking” dirasa kurang pantas untuk
dipraktekkan, posisi ini jika gandar berada di sebelah kiri tulang punggung. Sedangkan
posisi “netep” adalah jika warangka menyentuh sabuk, posisi ini juga dirasa
kurang pantas dipakai karena dianggap bermakna berani kepada siapapun.
2.
Ngewal
Posisi
pemakaian keris ini banyak digunakan oleh prajurit yang bersenjatakan pedang
dan para penari Klana Gagah gaya Yogyakarta.
3.
Satriya Keplayu
Posisi
memakai keris ini dikenal juga dengan istilah “lele sinundukan”. Posisi ini
dipraktekkan saat seseorang melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak gerak,
namun pemakaiannya dianggap kurang sopan karena terkesan akan mbalelo terhadap penguasa. Jika letak
gandar keris berada di sebelah kanan tulang punggung disebut “ngogleng”, atau “ngongleng
methit” di Surakarta.
4.
Munyuk Ngilo
Posisi ini
dipakai oleh prajurit yang sedang bepergian atau berkelana. Selain itu,
prajurit yang menggunakan bedhil sebagai senjata juga menggunakan posisi ini.
5.
Nganggar
Dipakau
untuk bepergian dan para prajurit Daeng.
6.
Nyothe (A)
Dipakai saat
naik kuda atau kendaraan.
7.
Nyothe (B)
Dipakai oleh
para resi, ulama atau pendeta.
Keris memang
bukan hanya senjata atau pusaka, keris merupakan simbol dari peradaban yang
pernah tercipta. Untuk memahami sebuah keris, bukan hanya diperlukan ilmu
pengetahuan belaka, namun juga diperlukan sense
(rasa) yang peka. Simbol-simbol yang ditinggalkan oleh para leluhur Jawa bukan
hanya akan dinikmati oleh generasi pada saat itu saja, namun akan dinikmati
oleh anak-cucu di generasi kemudian. Orang tua di masyarakat Jawa selalu
menanamkan kecintaan pada leluhurnya, karena mereka yakin bahwa kesuksesan yang
diraih oleh sebuah generasi bukan hanya hasil kerja keras dari generasi itu
saja, namun juga ada andil dari kerja dan upaya leluhur dari generasi
sebelumnya.
Wong tuwa tapa, anak nampa, putu nemu,
buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur
misuwur.
Dari sebilah keris kita belajar pengetahuan. Dari
sebilah keris kita lihat agungnya kebudayaan, dan dari sebilah keris kita
belajar arti kehidupan. [PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar