Minggu, 16 Agustus 2015

Hadroh Kontemporer: Sebuah Perkawinan Budaya


Beberapa Tampilan Tim Hadroh Kontemporer

Hadroh adalah sebuah seni bermusik dengan berbekal tabuhan yang dihasilkan dari seperangkat alat musik rebana (terbangan) untuk mengiringi syair-syair islami. Secara bahasa, kata hadroh diindukkan dari bahasa Arab hadhoro atau yadhiru atau hadhron atau hadrotan yang berarti kehadiran. Sedangkan definisi hadroh menurut ilmu tasaswuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke hati, karena orang yang memainkan hadroh dengan benar akan terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah SWT dan Rasullullah SAW.

Tidak banyak bukti sejarah yang mengungkap kapan pertama kali musik hadroh datang ke Indonesia. Namu, menurut beberapa sumber yang telah ditelusuri, hadroh sudah ada sejak zaman Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shabab, seorang ulama Palembang yang merupakan leluhur dari Wali Songo, kecuali Sunan Kalijaga. Musik hadroh banyak diperdengarkan saat perayaan-perayaan hari besar Islam, khususnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW. S
Hadrah banyak dipergunakan sebagai media apresiasi seni santri-santri dari berbagai pondok pesantren, khususnya di provinsi Jawa Timur. Beberap grup yang populer karena kepiawaiannya dalam memainkan musik hadroh misalnya grup Annabawiyyah, Arraudhah dan Al Muqtasida. Pada era 80-an, musik hadroh dikenal dengan nama rebana qasidah dan sempat menjadi hits di blantika musik Indonesia. Lagu “Perdamaian” yang pernah di-remake oleh group band GIGI menjadi bukti kejayaan musik hadroh. Awalnya, lagu yang telah lekat di telinga masyarakat tersebut didendangkan oleh sebuah grup rebana qasidah bernama Nasida Ria.

Peserta Hadroh Kontemporer dari Desa Hadiwarno yang menjadi Juara I

Syair lagu hadroh adalah syair yang umumnya berupa pujian pada Tuhan, kecintaan pada Nabi Muhammad dan nasihat tentang kehidupan. Dua induk syair hadroh yang populer adalah kita al barzanji dan kitab al burdah. Keduanya berisi tentang beberepa sendir kehidupan, mulai dari makna hakiki hidup, fungsi al quran, hingga gangguan hidup yang berupa hawa nafsu yang tak terkendali. Syair-syair ini dikemas dalam nada-nada indah yang mengalun menyejukkan hati.

Sebagai budaya Arab, hadroh diterima baik oleh masyarakat Indonesia yang kini mayoritas pendudukanya adalah muslim. Hadroh dimainkan dalam acara-acara keagamaan, baik skala kecil maupun besar. Di beberapa daerah, hadroh berpadu dengan beberapa alat musik khas Indonesia yang akhirnya memberikan sajian unik dan menarik. Tak hanya itu, ada beberapa tarian yang awalnya terispirasi dari keanggunan musik hadrah, sebut saja tari Rodhat atau tari Hadrah Shof.

Perkawinan budaya menjadi sebuah hal yang mutlak terjadi ketika budaya lain masuk ke dalam sebuah wilayah yang baru. Umumnya, masyarakat setempat tidak akan serta merta mengambil budaya tersebut, namun akan menyaringnya. Salah satu teknik penyaringan yang umum terjadi adalah adanya akulturasi budaya, di mana budaya asing yang datang dikawinkan dengan budaya setempat, sehingga terasa lebih familiar dan akhirnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Akulturasi budaya inilah yang coba diangkat oleh Pemerintah Kecamatan Ngadirojo dalam memeriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-70 lewat lomba yang bertajuk “Lomba Hadroh Kontemporer”. Panitia mencoba memperkenalkan hadroh ke masyarakat Ngadirojo dengan mengajak seluruh desa untuk berpartisipasi dan unjuk kebolehan atas kreasi yang telah dibuat.

Jumat dan Sabtu (14-15/8/2015) masyarakat Ngadirojo berduyun-duyun menuju Pendopo Kecamatan Ngadirojo untuk melihat performance dari desa-desa se-kecamatan Ngadirojo. Dua malam, warga Ngadirojo dimanjakan dengan sajian-sajian yang unik hasil karya warga masyarakat sendiri. Masing-masing tim hadroh dari setiap desa membawakan dua buah lagu. Dan di sinilah rasa kontemporer itu terkecap oleh warga. Beberapa desa juga menyertakan beberapa unsur gamelan, seperti gendang, saron atau bonang. Unsur musik modern seperti gitar, bass dan keyboard juga menjadi pilihan bagi beberapa desa untuk memadukan musik timur tengah dengan nuansa lain. Ketua Dewan Juri yang berasal dari Kota Pacitan bahkan sempat memuji salah satu peserta dengan istilah “kolaborasi yang nakal” karena salah satu tampilannya mengambil beberapa unsur budaya, yaitu dari Arab, Jawa hingga nuansa Banyuwangi lewat musik berbau Osing.

Penampilan Tim Hadroh Desa Wiyoro yang dijuluki kolaborasi nakal oleh Juri

Selain musik, dewan juri juga memberikan komentar tentang penggunaan busana yang kadang tidak sinkron antara baju dan hijab yang digunakan. Overall, panitia sukses mengemas acara lomba agustusan ini menjadi sajian yang menyedot antusiasme warga Ngadirojo. Semoga, masyarakat Ngadirojo tidak hanya terhibur dengan keindahan tampilan, atau bahkan terjerumus pada euforia kemenangan, namun dapat meresapi syair-syair lagu hadroh yang dapat dijadikan nasihat kehidupan.[PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar