Sebuah Adegan Ki Godheg dan Dewi Sekartaji dalam upacara Ceprotan (Foto: Awik Baidawi) |
Ceprotan merupakan upacara adat yang terjadi
di desa Sekar kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, sekitar 40 kilometer ke
arah barat dari pusat kota Pacitan. Seperti upacara bersih desa lainnya,
Ceprotan juga dilaksanakan di bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah) pada penanggalan
Jawa. Masyarakat Jawa masih memegang teguh prinsip dan peranan bulan Jawa dalam
putaran waktu sepanjang tahun. Ceprotan dilaksanakan setahun sekali tepatnya
setiap hari Senin Kliwon (Soma Kasih) pada bulan Selo. Jika dalam suatu masa di
mana tidak dijumpai hari Senin Kliwon pada bulan Selo, maka pelaksanaan upacara
Ceprotan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon (Radite Kasih).
Upacara Ceprotan terkait dengan babad tanah
Sekar, Donorojo. Upacara ini digelar untuk menghindarkan masyarakat dari mara
bahaya dan musibah yang dapat terjadi. Namun, seiring proses modernisasi,
upacara Ceprotan menjadi agenda wisata yang juga digarap oleh Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kabupaten Pacitan.
Istilah ceprotan
dimungkinkan berasal dari kata cipratan
(percikan) dari air kepala muda yang menjadi puncak dalam upacara adat ini.
Sebelumnya, upacara adat dimulai dengan pengarakan cengkir (kelapa muda) yang digunakan sebagai sarana ceprotan menuju ke tempat
dilaksanakannya upacara. Selanjutnya, tetua adat memberikan doa-doa untuk
keselamatan dan kemakmuran warga setempat. Selanjutnya,acara dilanjutkan dengan
penampilan sendratari tentang Ki Godheg (sebagian teks menyebutkan Ki Gadheg)
dan Dewi Sekartaji.
Ki Godheg memberikan kelapa kepada Dewi Sekartaji, Dokumentasi 2014 (Foto: Doc. Pacitan) |
Setelah sendratari selesai,
upacara Ceprotan mulai memuncak. Pemuda yang membawa kelapa muda dibagi menjadi
dua kubu dan berada pada tempat yang saling berseberangan pada jarak tertentu. Di
antara kedua kubu tersebut, diletakkan ayam bakar. Setelah
semua siap, anggota dari kedua kubu mulai saling melempar kelapa muda yang
berada di depan mereka. Setiap orang yang terkena lemparan hingga kelapa yang
dilempar pada mereka pecah dan airnya membasahi tubuhnya dianggap sebagai orang
yang kelak akan mendapatkan rezeki yang melimpah. Ayam panggang yang diletakkan
di tengah-tengah arena tidak diperebutkan melainkan disimpan untuk dimakan
bersama-sama pada akhir acara. Setelah semua kelapa habis, kegiatan saling
melempar kelapa yang dinamakan ceprotan ini diakhiri dengan pembacaan doa
kembali. Pada penutupan acara ceprotan ini juga dilakukan tarian-tarian singkat
yang mengiringi kepergian pemuda-pemuda yang telah melakukan ceprotan.
Sebagai sebuah folklore (cerita tutur), banyak versi yang berkembang terkait
dengan sejarah detail Ceprotan. Paling tidak, ada dua versi cerita yang
berkembang di Masyarakat, namun kedua versi cerita tersebut bermuara pada ujung
yang sama, alur global keduanya juga mirip.
Cerita versi pertama menggambarkan bahwa saat
itu wilayang yang saat ini bernama desa Sekar pada awalnya merupakan wilayah
tandus dan tak berpenghuni. Desa Sekar berada di sebelah utara Kerajaan Wirati
yang saat itu dipimpin oleh Prabu Prawirayudha yang dikenal luas dengan nama Ki
Kalak. Salah satu putra beliau bernama Ki Gadheg ditugasi untuk membuka
padepokan dengan babad alas wilayah yang saat ini bernama desa Sekar. Pada
waktu babad alas, ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang mencari
kekasihnya, Raden Panji Asmarabangun. Merasa kehausan, Dewi Sekartaji meminta
minum kepada Ki Gadheg. Melihat sekeliling, Ki Gadheg tak dapat menemukan pohon
kelapa yang akan diambil airnya untuk diberikan kepada Dewi Sekartaji. Dengan
kesaktiannya, Ki Gadheg mendapatkan buah kelapa dan diberikan kepada Dewi
Sekartaji. Setelah dahaganya menghilang, sisa air kelapa ditumpahkanlah ke
tanah dan akhirnya menjadi mata air. Setelah peristiwa itu, Dewi Sekartaji
memberikan pesan kepada Ki Gadheg untuk menamakan daerah tersebut dengan nama
Sekar jika suatu saat menjadi daerah yang makmur. Selain itu, Dewi Sekartaji
juga berpesan agar diadakan upacara bersih desa sekali dalam setiap tahun.
Dewi Sekartaji membuang sisa air kelapa, dokumentasi 2014 (Foto:Do. Pacitan) |
Versi kedua menceritakan sosok Ki Gadheg
bernama Ki Godheg. Dalam cerita ini, Ki Godheg merupakan samaran dari Raden
Panji Asmarabangun. Ki Godheg memiliki misi untuk mengubah hutan belantara
menjadi lahan pertanian. Dalam proses babad alas, Ki Godheg bertemu dengan Dewi
Sekartaji yang sedang kehausan. Demi memenuhi keinginan Dewi Sekartaji, Ki
Godheg menggunakan kesaktiannya untuk masuk ke dalam tanah dan menuju tempat lain
yang cukup jauh. Konon, tempat keluar Ki Godheg dari dalam tanah berubah
menjadi sebuah mata air, kini dikenal dengan nama Kedung Timo di daerah Wirati,
desa Kalak. Setelah mendapatkan kelapa, Ki Godheg kembali ke tempat semula dan
menyerahkan kelapa tersebut kepada Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji meminum air
tersebut hingga hilang rasa dahaganya, sisa air kelapanya ditumpahkan ke tanah.
Tanah yang ditetesi sisa air kelapa oleh Dewi Sekartaji ini seketika berubah
menjadi mata air yang kini dinamai Sumber Sekar. Di akhir pertemuan mereka,
Dewi Sekartaji berpesan kepada Ki Godheg bahwa kelak jika di daerah tersebut
menjadi pemukiman penduduk, maka daerah tersebut harus dinamai dengan nama
Sekar.
Versi folklore
lain yang berkembang di masyarakat adalah menceritakan bahwa Ki Godheg dan Dewi
Sekartaji merupakan sepasang suami-istri. Pasangan ini mendirikan sebuah
padepokan untuk mengembangkan ilmu yang dimiliki keduanya. Dalam menerima
murid, Ki Godheg dan Dewi Sekartaji memberikan sejumlah persyaratan yang harus
dibawa oleh calon murid saat akan masuk padepokannya. Persyaratan tersebut
meliputi cengkir, beras pari, beras
ketan, mori, pitik putih mulus, kembang setaman, dan menyan. Pada waktu yang ditentukan, calon murid berdatangan
menghadap Ki Godheg. Beberapa di antara mereka membawa persyaratan yang
disebutkan, namun beberapa yang lain datang dengan tangan hampa. Selanjutnya,
Ki Godheg menuturkan bahwa orang yang membawa persyaratan tersebut dianggap
tidak dapat memahami persyaratan yang diminta Ki Godheg, karena persyaratan
tersebut bukan secara fisik, melainkan kesiapan mental yang dikemas dalam kereta basa (kepanjangan dari kata/istilah
yang disampaikan).
Puncak acara ceprotan: melempar cengkir, Dokumentasi 2014 (Foto Doc. Pacitan) |
Cengkir diartikan
sebagai kenceng ing pikir (modal
kecerdasan otak), sedangkan beras pari
berarti biar aber kekerasane (modal
kecerdasan emosi) dan beras keran adalah
keket tan ana tandinge (menjadi
manusia seutuhnya). Syarat yang lain juga merupakan pesan moral yang dikemas
dalam kereta basa, syarat mori berarti ngemori (menyatu dengan masyarakat) dan syarat pitik putih mulus berarti pikirane
mletik lan tulus (berlandaskan pada pola pikir yang jernih dan tulus). Dua
syarat terakhir merupakan sebuah perlambang. Kembang setaman memiliki maksud agar setiap manusia menebarkan
perpuatan yang baik, sedangkan menyan
melambangkan pesan untuk senantiasanya mendekatkan diri pada Sang Maha
Pencipta.
Sanggar
Edi Peni Pacitan pernah terlibat dalam proses komersialiasasi upacara adat
Ceprotan ini. Sanggar Tari Edi Peni menyajikan sebuah tarian bertajuk tari
Sekar Putri Manis. Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan
oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita.
Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan
Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita
menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.
Tari
Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat
Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997.
Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini
mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan
unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni
dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.
Penari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan |
Selain
tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil
Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri
Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam
jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga
tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan
mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten
Lamongan.
Upacara
adat Ceprotan merupakan aset budaya daerah yang sudah sepantasnya untuk dijaga
dan dilestarikan agar kelak, generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran
dari apa yang telah dilakukan pendahulunya. Cengkir
yang berarti kenceng ing pikir
sebagai properti utama dalam upacara memberikan pelajaran bahwa otak adalah
dasar untuk meraih rezeki Tuhan dalam kehidupan.[PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar