Selasa, 25 Agustus 2015

Ceprotan, Sebuah Aset Budaya Kabupaten Pacitan



Sebuah Adegan Ki Godheg dan Dewi Sekartaji dalam upacara Ceprotan (Foto: Awik Baidawi)


Ceprotan merupakan upacara adat yang terjadi di desa Sekar kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, sekitar 40 kilometer ke arah barat dari pusat kota Pacitan. Seperti upacara bersih desa lainnya, Ceprotan juga dilaksanakan di bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah) pada penanggalan Jawa. Masyarakat Jawa masih memegang teguh prinsip dan peranan bulan Jawa dalam putaran waktu sepanjang tahun. Ceprotan dilaksanakan setahun sekali tepatnya setiap hari Senin Kliwon (Soma Kasih) pada bulan Selo. Jika dalam suatu masa di mana tidak dijumpai hari Senin Kliwon pada bulan Selo, maka pelaksanaan upacara Ceprotan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon (Radite Kasih).

Upacara Ceprotan terkait dengan babad tanah Sekar, Donorojo. Upacara ini digelar untuk menghindarkan masyarakat dari mara bahaya dan musibah yang dapat terjadi. Namun, seiring proses modernisasi, upacara Ceprotan menjadi agenda wisata yang juga digarap oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kabupaten Pacitan.
Istilah ceprotan dimungkinkan berasal dari kata cipratan (percikan) dari air kepala muda yang menjadi puncak dalam upacara adat ini. Sebelumnya, upacara adat dimulai dengan pengarakan cengkir (kelapa muda) yang digunakan sebagai sarana ceprotan menuju ke tempat dilaksanakannya upacara. Selanjutnya, tetua adat memberikan doa-doa untuk keselamatan dan kemakmuran warga setempat. Selanjutnya,acara dilanjutkan dengan penampilan sendratari tentang Ki Godheg (sebagian teks menyebutkan Ki Gadheg) dan Dewi Sekartaji.
Ki Godheg memberikan kelapa kepada Dewi Sekartaji, Dokumentasi 2014 (Foto: Doc. Pacitan)

Setelah sendratari selesai, upacara Ceprotan mulai memuncak. Pemuda yang membawa kelapa muda dibagi menjadi dua kubu dan berada pada tempat yang saling berseberangan pada jarak tertentu. Di antara kedua kubu tersebut, diletakkan ayam bakar. Setelah semua siap, anggota dari kedua kubu mulai saling melempar kelapa muda yang berada di depan mereka. Setiap orang yang terkena lemparan hingga kelapa yang dilempar pada mereka pecah dan airnya membasahi tubuhnya dianggap sebagai orang yang kelak akan mendapatkan rezeki yang melimpah. Ayam panggang yang diletakkan di tengah-tengah arena tidak diperebutkan melainkan disimpan untuk dimakan bersama-sama pada akhir acara. Setelah semua kelapa habis, kegiatan saling melempar kelapa yang dinamakan ceprotan ini diakhiri dengan pembacaan doa kembali. Pada penutupan acara ceprotan ini juga dilakukan tarian-tarian singkat yang mengiringi kepergian pemuda-pemuda yang telah melakukan ceprotan.

Sebagai sebuah folklore (cerita tutur), banyak versi yang berkembang terkait dengan sejarah detail Ceprotan. Paling tidak, ada dua versi cerita yang berkembang di Masyarakat, namun kedua versi cerita tersebut bermuara pada ujung yang sama, alur global keduanya juga mirip.

Cerita versi pertama menggambarkan bahwa saat itu wilayang yang saat ini bernama desa Sekar pada awalnya merupakan wilayah tandus dan tak berpenghuni. Desa Sekar berada di sebelah utara Kerajaan Wirati yang saat itu dipimpin oleh Prabu Prawirayudha yang dikenal luas dengan nama Ki Kalak. Salah satu putra beliau bernama Ki Gadheg ditugasi untuk membuka padepokan dengan babad alas wilayah yang saat ini bernama desa Sekar. Pada waktu babad alas, ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang mencari kekasihnya, Raden Panji Asmarabangun. Merasa kehausan, Dewi Sekartaji meminta minum kepada Ki Gadheg. Melihat sekeliling, Ki Gadheg tak dapat menemukan pohon kelapa yang akan diambil airnya untuk diberikan kepada Dewi Sekartaji. Dengan kesaktiannya, Ki Gadheg mendapatkan buah kelapa dan diberikan kepada Dewi Sekartaji. Setelah dahaganya menghilang, sisa air kelapa ditumpahkanlah ke tanah dan akhirnya menjadi mata air. Setelah peristiwa itu, Dewi Sekartaji memberikan pesan kepada Ki Gadheg untuk menamakan daerah tersebut dengan nama Sekar jika suatu saat menjadi daerah yang makmur. Selain itu, Dewi Sekartaji juga berpesan agar diadakan upacara bersih desa sekali dalam setiap tahun.

Dewi Sekartaji membuang sisa air kelapa, dokumentasi 2014 (Foto:Do. Pacitan)

Versi kedua menceritakan sosok Ki Gadheg bernama Ki Godheg. Dalam cerita ini, Ki Godheg merupakan samaran dari Raden Panji Asmarabangun. Ki Godheg memiliki misi untuk mengubah hutan belantara menjadi lahan pertanian. Dalam proses babad alas, Ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang kehausan. Demi memenuhi keinginan Dewi Sekartaji, Ki Godheg menggunakan kesaktiannya untuk masuk ke dalam tanah dan menuju tempat lain yang cukup jauh. Konon, tempat keluar Ki Godheg dari dalam tanah berubah menjadi sebuah mata air, kini dikenal dengan nama Kedung Timo di daerah Wirati, desa Kalak. Setelah mendapatkan kelapa, Ki Godheg kembali ke tempat semula dan menyerahkan kelapa tersebut kepada Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji meminum air tersebut hingga hilang rasa dahaganya, sisa air kelapanya ditumpahkan ke tanah. Tanah yang ditetesi sisa air kelapa oleh Dewi Sekartaji ini seketika berubah menjadi mata air yang kini dinamai Sumber Sekar. Di akhir pertemuan mereka, Dewi Sekartaji berpesan kepada Ki Godheg bahwa kelak jika di daerah tersebut menjadi pemukiman penduduk, maka daerah tersebut harus dinamai dengan nama Sekar.

Versi folklore lain yang berkembang di masyarakat adalah menceritakan bahwa Ki Godheg dan Dewi Sekartaji merupakan sepasang suami-istri. Pasangan ini mendirikan sebuah padepokan untuk mengembangkan ilmu yang dimiliki keduanya. Dalam menerima murid, Ki Godheg dan Dewi Sekartaji memberikan sejumlah persyaratan yang harus dibawa oleh calon murid saat akan masuk padepokannya. Persyaratan tersebut meliputi cengkir, beras pari, beras ketan, mori, pitik putih mulus, kembang setaman, dan menyan. Pada waktu yang ditentukan, calon murid berdatangan menghadap Ki Godheg. Beberapa di antara mereka membawa persyaratan yang disebutkan, namun beberapa yang lain datang dengan tangan hampa. Selanjutnya, Ki Godheg menuturkan bahwa orang yang membawa persyaratan tersebut dianggap tidak dapat memahami persyaratan yang diminta Ki Godheg, karena persyaratan tersebut bukan secara fisik, melainkan kesiapan mental yang dikemas dalam kereta basa (kepanjangan dari kata/istilah yang disampaikan).

Puncak acara ceprotan: melempar cengkir, Dokumentasi 2014 (Foto Doc. Pacitan)

Cengkir diartikan sebagai kenceng ing pikir (modal kecerdasan otak), sedangkan beras pari berarti biar aber kekerasane (modal kecerdasan emosi) dan beras keran adalah keket tan ana tandinge (menjadi manusia seutuhnya). Syarat yang lain juga merupakan pesan moral yang dikemas dalam kereta basa, syarat mori berarti ngemori (menyatu dengan masyarakat) dan syarat pitik putih mulus berarti pikirane mletik lan tulus (berlandaskan pada pola pikir yang jernih dan tulus). Dua syarat terakhir merupakan sebuah perlambang. Kembang setaman memiliki maksud agar setiap manusia menebarkan perpuatan yang baik, sedangkan menyan melambangkan pesan untuk senantiasanya mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta.

Sanggar Edi Peni Pacitan pernah terlibat dalam proses komersialiasasi upacara adat Ceprotan ini. Sanggar Tari Edi Peni menyajikan sebuah tarian bertajuk tari Sekar Putri Manis. Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita. Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.

Tari Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997. Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.

Penari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan

Selain tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten Lamongan.

Upacara adat Ceprotan merupakan aset budaya daerah yang sudah sepantasnya untuk dijaga dan dilestarikan agar kelak, generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan pendahulunya. Cengkir yang berarti kenceng ing pikir sebagai properti utama dalam upacara memberikan pelajaran bahwa otak adalah dasar untuk meraih rezeki Tuhan dalam kehidupan.[PK]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar