Tari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan |
Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita. Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.
Tari Sekar Putri Manis
seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat Ceprotan di Desa
Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997. Pada tahun ini,
upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini mulai dijadikan
sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan unsur tarian dan
sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni dengan tidak
meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.
Penari Sekar Putri Manis setelah tampil dalam Pekan Budaya Jawa Timur 1997 |
Selain tampil di
upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil Pacitan dalam
ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri Manis mampu
memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam jajaran 10
Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga tersiar hingga
Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan mengundang tim tari
Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten Lamongan.
Selain menggambarkan
kecantikan wanita desa Sekar, tarian ini juga berlatar pada cerita rakyat yang
berkembang di daerah Donorojo sebagai dasar pelaksanaan upacara adat Ceprotan.
Upacara adat ceprotan merupakan sarana penjagaan bagi masyarakat dari penyakit,
paceklik dan mara bahaya lainnya. Acara yang digelar pada Senin Kliwon bulan
Longkang (Selo/Dzulqaidah) ini menggambarkan pertemuan antara Dewi Sekartaji
dan Ki Godeg. Ki Godeg sendiri diyakini sebagai penyamaran Panji Asmarabangun.
Pertemuan Dewi
Sekartaji dengan Ki Godeg bermula saat Dewi Sekartaji kehausan, sedangkan Ki
Godeg baru saja melakukan babad alas
wilayah tersebut. Donorojo yang merupakan daerah karst memberikan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan
air. Karena kegigihannya, Ki Godeg akhirnya menemukan cengkir (kelapa muda) dan
diberikannya kepada Dewi Sekartaji. Setelah dahaga yang melanda menghilang,
Dewi Sekartaji menyiramkan sisa air kelapa ke tanah, dan berpesan kepada Ki
Godeg agar kelak jika daerah tersebut dihuni dan dikembangkan masyarakat
diberikan nama Sekar. Istilah ceprotan
sendiri berasal dari kata cipratan
(percikan) pada peristiwa saat Dewi Sekartaji menyiramkan air kelapa muda (cengkir) ke tanah.
Salah satu prosesi upacara adat Ceprotan (Foto: Pacitan Network) |
Dalam prosesi acara
Ceprotan, cengkir menjadi properti
utama dengan didampingi sesajen, ingkung,
ayam panggang, dan bunga setaman. Cengkir
sering diartikan sebagai kencenging pikir
yang memberikan pesan agar masyarakat lebih mengandalkan daya pikir dalam
mengarungni kehidupan. Sesajen yang merupakan sarana mendekatkan diri pada Sang
Pencipta mengajarkan nuansa religius. Ayam panggang dan ingkung melambangkan rejeki yang harus senantiasa diupayakan,
sedangkan bunga setaman menunjukkan kebersihan dan wewangian dari setiap jalan
yang harus ditempuh.
Selain nilai filosofis
yang digambarkan dari setiap propertinya, kegigihan dan optimisme Ki Godeg
menjadi hal lain yang layak dijadikan sebagai pesan moral dan panutan atas setiap
usaha yang kita lakukan. Begitupun sikap suka menolong yang ditunjukkan Ki
Godeg juga tak lepas untuk disoroti.
Nilai-nilai filosofis
yag begitu dalam kembali disajikan oleh leluhur kita dalam suasana yang dikemas
dalam sebuah upacara adat yang begitu menghibur. Semoga upacara adat Ceprotan
menjadikan kita lebih kaya, baik dari segi budaya maupun segi nasihat untuk
menjalani kehidupan. [PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar