Rabu, 15 Juli 2015

Tari Sekar Putri Manis: Persembahan Lorok untuk Upacara Ceprotan Donorojo

Tari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan

 Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita. Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.

Tari Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997. Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.

Penari Sekar Putri Manis setelah tampil dalam Pekan Budaya Jawa Timur 1997

Selain tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten Lamongan.

Selain menggambarkan kecantikan wanita desa Sekar, tarian ini juga berlatar pada cerita rakyat yang berkembang di daerah Donorojo sebagai dasar pelaksanaan upacara adat Ceprotan. Upacara adat ceprotan merupakan sarana penjagaan bagi masyarakat dari penyakit, paceklik dan mara bahaya lainnya. Acara yang digelar pada Senin Kliwon bulan Longkang (Selo/Dzulqaidah) ini menggambarkan pertemuan antara Dewi Sekartaji dan Ki Godeg. Ki Godeg sendiri diyakini sebagai penyamaran Panji Asmarabangun.

Pertemuan Dewi Sekartaji dengan Ki Godeg bermula saat Dewi Sekartaji kehausan, sedangkan Ki Godeg baru saja melakukan babad alas wilayah tersebut. Donorojo yang merupakan daerah karst memberikan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan air. Karena kegigihannya, Ki Godeg akhirnya menemukan cengkir (kelapa muda) dan diberikannya kepada Dewi Sekartaji. Setelah dahaga yang melanda menghilang, Dewi Sekartaji menyiramkan sisa air kelapa ke tanah, dan berpesan kepada Ki Godeg agar kelak jika daerah tersebut dihuni dan dikembangkan masyarakat diberikan nama Sekar. Istilah ceprotan sendiri berasal dari kata cipratan (percikan) pada peristiwa saat Dewi Sekartaji menyiramkan air kelapa muda (cengkir) ke tanah.

Salah satu prosesi upacara adat Ceprotan (Foto: Pacitan Network)
Dalam prosesi acara Ceprotan, cengkir menjadi properti utama dengan didampingi sesajen, ingkung, ayam panggang, dan bunga setaman. Cengkir sering diartikan sebagai kencenging pikir yang memberikan pesan agar masyarakat lebih mengandalkan daya pikir dalam mengarungni kehidupan. Sesajen yang merupakan sarana mendekatkan diri pada Sang Pencipta mengajarkan nuansa religius. Ayam panggang dan ingkung melambangkan rejeki yang harus senantiasa diupayakan, sedangkan bunga setaman menunjukkan kebersihan dan wewangian dari setiap jalan yang harus ditempuh.

Selain nilai filosofis yang digambarkan dari setiap propertinya, kegigihan dan optimisme Ki Godeg menjadi hal lain yang layak dijadikan sebagai pesan moral dan panutan atas setiap usaha yang kita lakukan. Begitupun sikap suka menolong yang ditunjukkan Ki Godeg juga tak lepas untuk disoroti.


Nilai-nilai filosofis yag begitu dalam kembali disajikan oleh leluhur kita dalam suasana yang dikemas dalam sebuah upacara adat yang begitu menghibur. Semoga upacara adat Ceprotan menjadikan kita lebih kaya, baik dari segi budaya maupun segi nasihat untuk menjalani kehidupan. [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar