Sabtu, 11 Juli 2015

AJISAKA: Tentang Sebuah Janji dan Kesetiaan



 Kisah Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang di pulau Jawa.  Ajisaka diceritakan sebagai ksatria sakti yang memiliki dua abdi setia, yakni Dora dan Sembada.  Kedua abdi ini begitu setia, dan kesetiaan merekalah yang selanjutnya melahirkan sebuah legenda yang tertuang dalam dua puluh aksara Jawa. Raja Raksasa, Prabu Dewatacengkar dikisahkan sebagai tokoh antagonis yang berkuasa di kerajaan Medang Kamulan.

Legenda lahirnya aksara Jawa ini dipentaskan dalam sebuah teater bertajuk “Dongeng Sebelum Tidur” oleh Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Pementasan ini merupakan satu dari serangkaian acara Dies Natalis Fakultas Biologi UGM tahun 2013. Sanggar Edi Peni Pacitan berperan sebagai penata busana dalam pementasan ini.

Petikan lagu dari band Wayang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” menjadi prolog dalam pementasan, selanjutnya tokoh Anak yang hendak tidur. Sang Ibu datang dan setelahnya menuangkan kasih sayangnya dengan membacakan dongeng Ajisaka. Dongeng inilah yang selanjutnya divisualisasi menjadi drama apik dengan diselingi tarian dan nyanyian.

Adegan Ibu yang akan memberikan dongeng sebelum tidur kepada anaknya.

Ajisaka merupakan ksatria yang hidup di daerah Mejhati. Ajisaka memiliki dua orang abdi setia, yang bernama Dora dan Sembada. Keduanya merupakan murid yang sama-sama cerdas dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh Ajisaka, sehingga keduanya memiliki kesaktian yang sama.

Suatu ketika, Ajisaka mendengar tentang kelaliman Raja Raksasa Prabu Dewatacengkar di kerajaan Medang Kamulan. Raja raksasa ini meminta tumbal dari rakyatnya untuk dijadikan sebagai santapan. Ajisaka merasa tergerak untuk menghentikan kejahatan ini.

Dora, salah satu abdi Ajisaka, diminta untuk turut berangkat menuju Medang Kamulan untuk menghadapi Dewatacengkar. Sedangkan Sembada, abdi yang lain, diminta untuk tetap tinggal dengan tugas yang tak kalah berat. Sembada diminta oleh Ajisaka untuk menjaga keris pusaka yang dimiliki Ajisaka. Sebelum berangkat Ajisaka memberikan pesan kepada Sembada agar keris pusaka tersebut tidak diberikan kepada siapapun, kecuali jika Ajisaka sendiri.

Sesampai di kerajaan Medang Kamulan, Ajisaka berniat untuk menghadap Raja Dewatacengkar. Ajisaka menghadap sendirian, Dora diminta untuk berjaga di luar istana. Tentulah Ajisaka sudah memiliki sebuah rencana untuk mengalahkan Raja Raksasa yang terkenal bengis dan kejam itu.

Di hadapan Dewatacengkar, Ajisaka mengaku sebagai abdi yang hendak menyerahkan diri untuk dijadikan santapan Raja. Mendengar hal tersebut, sontak Dewatacengkar sangat senang karena rakyat makin sedikit yang memenuhi kriteria santapannya. Dewatacengkar selanjutnya menyuruh prajurit untuk memeriksa kelayakan Ajisaka sebagai tumbal.
Setelah dinyatakan layak, Dewatacengkar hendak memakan Ajisaka. Namun, Ajisaka meminta sesuatu sebagai permintaan terakhir kepada Dewatacengkar. Ajisaka menjelaskan bahwa Ajisaka meminta tanah di luar istana selebar sorban yang dipakai Ajisaka. Karena sudah begitu ingin melahap Ajisaka, Dewatacengkar langsung memenuhi permintaan tersebut.

Ajisaka dan Dewatacengkar menuju ke luar istana untuk mengukur tanah yang diminta Ajisaka. Ajisaka membuka sorban kepalanya dan memegangnya di salah satu sisi sorban. Dewatacengkar diminta untuk memegang sisi sorban yang lain. Tak disangka, ternyata sorban Ajisaka terus memanjang sampai akhirnya Dewatacengkar berada di pinggir laut. Dengan kesaktiannya, Ajisaka kemudian mengibaskan sorbannya sehingga menyebabkan Dewatacengkar tercebur ke laut. Konon, Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih.

Kematian Dewatacengkar disambut meriah oleh rakyat Medang Kamulan. Ajisaka yang telah mengalahkan Dewatacengkar ditunjuk untuk memimpin kerajaan, karena rakyat percaya Ajisaka akan berlaku adil dan selalu membela kebenaran.

Setelah menjadi Prabu, Ajisaka teringat akan Sembada dan keris pusaka yang ada di Mejhati. Prabu Ajisaka selanjutnya menyuruh Dora untuk mengambil keris tersebut dari tangan Sembada.
Sesampai di Mejhati, Dora bertemu dengan Sembada. Kisah pertemuan kedua saudara ini dituangkan dalam latar yang bahagia. Dora dan Sembada saling bernyanyi untuk sekedar menanyakan kabar.

Sembada      : “Bagya Sira ingkang nembe prapti,
                      Lawas ora katon, 
                      Menyang endi seprono seprene?
                      Paranto basuki Dora mitraningsun”
Dora             : “Kawruhana wiya kaget sireki
                       Sajrone wak ingong, mulan ndara…..
                       Wus antara suwe, sejatine praptaningsun kiyi
                       Kinen mundhut keris ingkang sira tunggu”
Sembada       : “Piye Dora apa sira lali? Welinge sang Katong
                       Wanti-wanti, tan kena angambil
                       Lamun dudu Gusti nira pribadi
                       Kang angambil keris rereksanku”

Sembada bertanya kepada Dora tentang kabar dan perjalanannya. Dora kemudian menjelaskan apa yang telah terjadi pada dirinya dan Ajisaka yang telah mengalahkan Dewatacengkar. Lalu, Dora menyampaikan pesan Ajisaka untuk mengambil keris pusaka yang ditunggu oleh Sembada. Namun Sembada tidak mau menyerahkan keris pusaka itu kepada Dora karena masih teringat akan pesan Ajisaka bahwa hanya kepada Ajisaka saja keris pusaka itu boleh diberikan. Keduanya masih saling bersikukuh dengan tugas masing-masing. Perkelahian antara keduanya tidak dapat dihindarkan, akhirnya keduanya mati.

Ajisaka merasa terlalu lama menunggu Dora, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Mejhati. Sesampainya di Mejhati, Ajisaka dikagetkan karena Dora dan Sembada sudah menjadi mayat. Ajisaka kemudian mengambil keris pusaka yang menjadi awal kematian kedua abdi setianya. Dia menuliskan kisah Dora dan Sembada pada sebuah batu dalam dua puluh aksara. Saat ini, ke-dua puluh aksara tersebut dikenal dengan nama Aksara Jawa.

ha na ca ra ka”        (ada utusan)
da ta sa wa la”        (saling berselisih)
pa dha ja ya nya”    (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga”   (keduanya mati)

Epilog drama "Dongeng Sebelum Tidur"

Banyak pelajaran dari kisah Ajisaka ini. Kesetiaan Dora dan Sembada akan amanah yang diberikan kepadanya patut dijadikan sebuah teladan. Amanah merupakan beban yang berada di pundak seseorang. Dora dan Sembada me jada amanah yang diberikan kepada keduanya bahkan dengan nyawa yang dimilikinya.

Kelalaian Ajisaka atas pesan yang diberikan kepada Sembada menjadi sebab awal kematian kedua abdi setianya. Setelah menjadi seorang raja, urusan yang dimiliki Ajisaka bertambah banyak, sehingga dia melalaikan pesan yang telah dia berikan kepada Sembada. Jika Ajisaka teringat pesannya pada Sembada, sudah pasti dia akan mengambil keris pusaka itu sendiri, sehingga kedua abdi setianya tidak akan terbunuh. Peristiwa ini memberikan pelajaran bagi kita akan konsekuensi atas janji yang telah diucapkan.


Pemain teater "Dongeng Sebelum Tidur" KMP Biologi UGM

Kisah Ajisaka mungkin hanya fiksi yang diyakini menjadi sebuah hal yang nyata di waktu silam. Namun, pelajaran yang terkandung dari kisah ini begitu nyata adanya. Semoga kita tidak hanya menjaga dan melestarikan Aksara Jawa sebagai kekayaan budaya, namun juga bisa meneladani pelajaran-pelajaran positif yang terkandung di dalamnya. [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar