Selasa, 14 Juli 2015

Maleman, Tradisi di Penghujung Ramadhan





Manusia tercipta bak mata uang logam yang memiliki dua sisi, sisi tersebut menghadap ke arah yang berbeda, memiliki gambar yang berbeda, namun saling mendukung dan mengukuhkan peran sebagai mata uang. Manusia pun demikian, dalam menjaga eksistensinya sebagai manusia, manusia diciptakan dengan dua sisi, sisi vertikal dan sisi horizontal.

Dalam menjalankan sisi vertikal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki keyakinan akan keberadaan Dzat Alfa-Omega, Tuhan Sang Mahakuasa. Pemenuhan terhadap sisi vertikal lahir dari ketaatan manusia kepada Tuhan atas dasar ajaran-ajaran agama yang diyakini masing-masing. Agama, aliran kepercayaan, dan sekte-sekte merupakan sarana untuk menyalurkan hasrat eksistensi manusia sebagai makhluk vertikal, di mana setiap hal yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan kepada Dzat yang lebih agung dari manusia. Dalam sisi ini, manusia memang ditempatkan dalam posisi hamba, berada di bawah titik Tuhan Sang Pencipta.

Pada sisi yang lain, manusia ditempatkan dalam sisi horizontal yang menyebabkan manusia berada pada posisi yang sama tinggi dengan manusia yang lain. Sisi horizontal juga menuntut manusia agar harus mempertahankan eksistensinya dalam menjaga hubungan baiknya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, terciptalah agenda-agenda manusiawi semacam tenggang rasa dan gotong royong.

Ramadhan, bagi umat muslim disebut sebagai bulan suci yang penuh dengan keberkahan. Dalam bulan Ramadhan, umat muslim mendapatkan kesempatan emas untuk dapat mempertahankan eksistensinya, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, umat muslim dijanjikan pahala atas kebaikan-kebaikan dan begitu banyak pintu keberkahan yang terbuka dengan lebar. Sedangkan secara horizontal, manusia juga dituntut untuk senantiasa menjalankan kewajiban untuk hablu minnan nas (berbuat baik kepada sesama manusia).

Dalam penghujung Ramadhan, yang disebutkan sebagai bagian yang penuh kemenangan, umat muslim percaya akan anugrah lailatul qodar (malam yang mulia). Malam kemuliaan ini merupakan malam di mana keutamaannya lebih dari malam seribu bulan. Dapat dibayangkan jika satu kebaikan yang tertanam dipersamakan dengan konsistensi kebaikan yang dilakukan dalam jangka waktu seribu bulan. Hal inilah yang menyebabkan umat muslim saling berlomba dalam menggapai anugrah indah ini. Sesuai dengan tuntunan umat islam, lailatul qodar dipercaya akan dianugrahkan Tuhan Yang Maha Esa pada malam-malam ganjil di sepertiga Ramadhan terakhir, yaitu malam ke-21, malam ke-23, malam ke-25, malam ke-27 dan malam ke-29.

Maleman, merupakan tradisi yang berkembang di daerah Lorok, Pacitan yang dilakukan umat muslim di malam ganjil pada sepertiga Ramadhan terakhir. Dalam tradisi ini, umat muslim saling menyajikan makanan untuk diberikan ke sanak famili, kaum dhuafa, maupun jama’ah masjid. Tradisi ini dapat diartikan sebagai sarana manusia untuk menjaga eksistensinya, baik dari sisi vertikal maupun horizontal. Dalam sisi vertikal, tradisi maleman merupakan sarana manusia dalam melakukan kebaikan untuk berbagi kebahagiaan, sedangkan dalam sisi horizontal, maleman dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjaga tali silaturrahim dan tali persaudaraan agar semakin erat dan hangat.

Maleman terkadang disebut sebagai malem sodaqohan di mana setiap muslim saling berlomba untuk memberikan sedekah yang diwujudkan dalam beberapa bungkus takir. Takir merupakan seperangkat menu makanan lengkap, minimal berisi nasi, sayur dan lauk, terkadang dilengkapi dengan buah dan minuman. Tak ada aturan khusus dalam menentukan menu sayur atau jenis lauk yang digunakan. Hal ini terikat dengan kemampuan dan keikhlasan masing-masing individu dalam upaya beribadah kepada Allah swt.

Meskipun tradisi malemam dalam prakteknya sudah mengalami pergeseran dan penyesuaian, namun tradisi ini masih terjaga dengan baik. Pergeseran tradisi maleman dapat dilihat dari cara pembagian dan kemasan takir. Dahulu, takir dibagikan ke tetangga-tetangga dan sanak saudara, namun kini, takir yang dibuat biasanya hanya dikumpulkan di masjid/mushola, kemudian dilakukan kembul boga setelah rangkaian ibadah shalat tarawih. Dalam segi kemasan, sudah terjadi modernisasi dalam teknik mengemas takir. Takir yang sebenarnya sudah sangat jarang ditemui, bahkan mungkin hanya sebuah cerita saja. Dahulu, takir dikenal luas dengan istilah sedan ijo. Takir dibungkus dengan daun pisang dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seperti mobil sedan, oleh kerena itulah takir juga disebut sebagai sedan ijo.

Takir sedan ijo yang dikemas dalam 'tempelangan'

Terkadang, takir tidak dikemas sebagai sedan ijo, namun ditempatkan pada semacam perahu yang terbuat dari daun pisang. Perahu daun pisang ini dibuat sebagaimana pincuk yang umumnya digunankan masyarkat Lorok, Pacitan untuk menikmati nasi pecel. Bedanya, pincuk hanya disimpul pada satu sisi, namun perahu takir disimpul pada kedua sisi.

Perahu takir

Baik kemasan sedan ijo maupun perahu takir sudah sangat langka di Lorok, Pacitan. Saat ini, umumnya takir dikemas dengan kotak stiroform yang banyak dijual di pasaran.


Takir  yang dikemas dalam stiroform

“Sudah jarang kita temui takir yang dikemas dalam bungkusan daun pisang ataupun kertas nasi coklat, umumnya dalam kotak putih demikian.”, Ujar Bapak Aziz, salah satu sesepuh di Mushola Al Amin, Desa Wiyoro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan. Beliau menambahkan bahwa apapun kemasannya, niat dalam menakukan maleman-lah yang harus diperhatikan dan dijaga. Tradisi maleman adalah tradisi bersedekah dengan tujuan utama untuk menambah ketakwaan manusia pada Sang Pencipta, Allah swt. [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar