Manusia tercipta bak mata uang logam yang memiliki dua sisi, sisi tersebut menghadap ke arah yang berbeda, memiliki gambar yang berbeda, namun saling mendukung dan mengukuhkan peran sebagai mata uang. Manusia pun demikian, dalam menjaga eksistensinya sebagai manusia, manusia diciptakan dengan dua sisi, sisi vertikal dan sisi horizontal.
Dalam menjalankan sisi vertikal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang
memiliki keyakinan akan keberadaan Dzat Alfa-Omega, Tuhan Sang Mahakuasa. Pemenuhan
terhadap sisi vertikal lahir dari ketaatan manusia kepada Tuhan atas dasar
ajaran-ajaran agama yang diyakini masing-masing. Agama, aliran kepercayaan, dan
sekte-sekte merupakan sarana untuk menyalurkan hasrat eksistensi manusia
sebagai makhluk vertikal, di mana setiap hal yang dilakukan manusia akan
dipertanggungjawabkan kepada Dzat yang lebih agung dari manusia. Dalam sisi
ini, manusia memang ditempatkan dalam posisi hamba, berada di bawah titik Tuhan
Sang Pencipta.
Pada sisi yang lain, manusia ditempatkan dalam sisi horizontal yang
menyebabkan manusia berada pada posisi yang sama tinggi dengan manusia yang
lain. Sisi horizontal juga menuntut manusia agar harus mempertahankan eksistensinya
dalam menjaga hubungan baiknya dengan sesama manusia. Oleh karena itu,
terciptalah agenda-agenda manusiawi semacam tenggang rasa dan gotong royong.
Ramadhan, bagi umat muslim disebut sebagai bulan suci yang penuh
dengan keberkahan. Dalam bulan Ramadhan, umat muslim mendapatkan kesempatan
emas untuk dapat mempertahankan eksistensinya, baik secara vertikal maupun
horizontal. Secara vertikal, umat muslim dijanjikan pahala atas
kebaikan-kebaikan dan begitu banyak pintu keberkahan yang terbuka dengan lebar.
Sedangkan secara horizontal, manusia juga dituntut untuk senantiasa menjalankan
kewajiban untuk hablu minnan nas
(berbuat baik kepada sesama manusia).
Dalam penghujung Ramadhan, yang disebutkan sebagai bagian yang penuh
kemenangan, umat muslim percaya akan anugrah lailatul qodar (malam yang mulia). Malam kemuliaan ini merupakan
malam di mana keutamaannya lebih dari malam seribu bulan. Dapat dibayangkan
jika satu kebaikan yang tertanam dipersamakan dengan konsistensi kebaikan yang
dilakukan dalam jangka waktu seribu bulan. Hal inilah yang menyebabkan umat
muslim saling berlomba dalam menggapai anugrah indah ini. Sesuai dengan
tuntunan umat islam, lailatul qodar
dipercaya akan dianugrahkan Tuhan Yang Maha Esa pada malam-malam ganjil di
sepertiga Ramadhan terakhir, yaitu malam ke-21, malam ke-23, malam ke-25, malam
ke-27 dan malam ke-29.
Maleman, merupakan tradisi
yang berkembang di daerah Lorok, Pacitan yang dilakukan umat muslim di malam
ganjil pada sepertiga Ramadhan terakhir. Dalam tradisi ini, umat muslim saling menyajikan
makanan untuk diberikan ke sanak famili, kaum dhuafa, maupun jama’ah masjid. Tradisi
ini dapat diartikan sebagai sarana manusia untuk menjaga eksistensinya, baik
dari sisi vertikal maupun horizontal. Dalam sisi vertikal, tradisi maleman merupakan sarana manusia dalam
melakukan kebaikan untuk berbagi kebahagiaan, sedangkan dalam sisi horizontal, maleman dapat dijadikan sebagai sarana
untuk menjaga tali silaturrahim dan tali persaudaraan agar semakin erat dan
hangat.
Maleman terkadang disebut
sebagai malem sodaqohan di mana
setiap muslim saling berlomba untuk memberikan sedekah yang diwujudkan dalam
beberapa bungkus takir. Takir
merupakan seperangkat menu makanan lengkap, minimal berisi nasi, sayur dan lauk,
terkadang dilengkapi dengan buah dan minuman. Tak ada aturan khusus dalam
menentukan menu sayur atau jenis lauk yang digunakan. Hal ini terikat dengan
kemampuan dan keikhlasan masing-masing individu dalam upaya beribadah kepada
Allah swt.
Meskipun tradisi malemam
dalam prakteknya sudah mengalami pergeseran dan penyesuaian, namun tradisi ini
masih terjaga dengan baik. Pergeseran tradisi maleman dapat dilihat dari cara pembagian dan kemasan takir. Dahulu, takir dibagikan ke tetangga-tetangga dan sanak saudara, namun kini,
takir yang dibuat biasanya hanya
dikumpulkan di masjid/mushola, kemudian dilakukan kembul boga setelah rangkaian ibadah shalat tarawih. Dalam segi
kemasan, sudah terjadi modernisasi dalam teknik mengemas takir. Takir yang sebenarnya
sudah sangat jarang ditemui, bahkan mungkin hanya sebuah cerita saja. Dahulu, takir dikenal luas dengan istilah sedan ijo. Takir dibungkus dengan daun pisang dan dikemas sedemikian rupa
sehingga nampak seperti mobil sedan, oleh kerena itulah takir juga disebut sebagai sedan
ijo.
Takir sedan ijo yang dikemas dalam 'tempelangan' |
Terkadang, takir tidak
dikemas sebagai sedan ijo, namun
ditempatkan pada semacam perahu yang terbuat dari daun pisang. Perahu daun pisang ini dibuat sebagaimana
pincuk yang umumnya digunankan
masyarkat Lorok, Pacitan untuk menikmati nasi pecel. Bedanya, pincuk hanya disimpul pada satu sisi,
namun perahu takir disimpul pada
kedua sisi.
Perahu takir |
Takir yang dikemas dalam stiroform |
“Sudah jarang kita temui takir
yang dikemas dalam bungkusan daun pisang ataupun kertas nasi coklat, umumnya
dalam kotak putih demikian.”, Ujar Bapak Aziz, salah satu sesepuh di Mushola Al
Amin, Desa Wiyoro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan. Beliau menambahkan bahwa
apapun kemasannya, niat dalam menakukan maleman-lah
yang harus diperhatikan dan dijaga. Tradisi maleman
adalah tradisi bersedekah dengan tujuan utama untuk menambah ketakwaan manusia
pada Sang Pencipta, Allah swt. [PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar