Kisah Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang di
pulau Jawa. Ajisaka diceritakan sebagai
ksatria sakti yang memiliki dua abdi setia, yakni Dora dan Sembada. Kedua abdi ini begitu setia, dan kesetiaan
merekalah yang selanjutnya melahirkan sebuah legenda yang tertuang dalam dua
puluh aksara Jawa. Raja Raksasa, Prabu Dewatacengkar dikisahkan sebagai tokoh
antagonis yang berkuasa di kerajaan Medang Kamulan.
Legenda lahirnya aksara Jawa ini dipentaskan dalam sebuah
teater bertajuk “Dongeng Sebelum Tidur” oleh Keluarga Mahasiswa Pascasarjana
(KMP) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Pementasan ini merupakan
satu dari serangkaian acara Dies Natalis Fakultas Biologi UGM tahun 2013.
Sanggar Edi Peni Pacitan berperan sebagai penata busana dalam pementasan ini.
Petikan lagu dari band
Wayang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” menjadi prolog dalam pementasan,
selanjutnya tokoh Anak yang hendak tidur. Sang Ibu datang dan setelahnya
menuangkan kasih sayangnya dengan membacakan dongeng Ajisaka. Dongeng inilah
yang selanjutnya divisualisasi menjadi drama apik dengan diselingi tarian dan
nyanyian.
|
Adegan Ibu yang akan memberikan dongeng sebelum tidur kepada anaknya. |
Ajisaka merupakan ksatria yang hidup di daerah Mejhati.
Ajisaka memiliki dua orang abdi setia, yang bernama Dora dan Sembada. Keduanya
merupakan murid yang sama-sama cerdas dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh
Ajisaka, sehingga keduanya memiliki kesaktian yang sama.
Suatu ketika, Ajisaka mendengar tentang kelaliman Raja
Raksasa Prabu Dewatacengkar di kerajaan Medang Kamulan. Raja raksasa ini
meminta tumbal dari rakyatnya untuk dijadikan sebagai santapan. Ajisaka merasa
tergerak untuk menghentikan kejahatan ini.
Dora, salah satu abdi Ajisaka, diminta untuk turut berangkat
menuju Medang Kamulan untuk menghadapi Dewatacengkar. Sedangkan Sembada, abdi
yang lain, diminta untuk tetap tinggal dengan tugas yang tak kalah berat.
Sembada diminta oleh Ajisaka untuk menjaga keris pusaka yang dimiliki Ajisaka.
Sebelum berangkat Ajisaka memberikan pesan kepada Sembada agar keris pusaka
tersebut tidak diberikan kepada siapapun, kecuali jika Ajisaka sendiri.
Sesampai di kerajaan Medang Kamulan, Ajisaka berniat untuk
menghadap Raja Dewatacengkar. Ajisaka menghadap sendirian, Dora diminta untuk
berjaga di luar istana. Tentulah Ajisaka sudah memiliki sebuah rencana untuk
mengalahkan Raja Raksasa yang terkenal bengis dan kejam itu.
Di hadapan Dewatacengkar, Ajisaka mengaku sebagai abdi yang
hendak menyerahkan diri untuk dijadikan santapan Raja. Mendengar hal tersebut,
sontak Dewatacengkar sangat senang karena rakyat makin sedikit yang memenuhi
kriteria santapannya. Dewatacengkar selanjutnya menyuruh prajurit untuk
memeriksa kelayakan Ajisaka sebagai tumbal.
Setelah dinyatakan layak, Dewatacengkar hendak memakan
Ajisaka. Namun, Ajisaka meminta sesuatu sebagai permintaan terakhir kepada
Dewatacengkar. Ajisaka menjelaskan bahwa Ajisaka meminta tanah di luar istana
selebar sorban yang dipakai Ajisaka. Karena sudah begitu ingin melahap Ajisaka,
Dewatacengkar langsung memenuhi permintaan tersebut.
Ajisaka dan Dewatacengkar menuju ke luar istana untuk
mengukur tanah yang diminta Ajisaka. Ajisaka membuka sorban kepalanya dan
memegangnya di salah satu sisi sorban. Dewatacengkar diminta untuk memegang
sisi sorban yang lain. Tak disangka, ternyata sorban Ajisaka terus memanjang sampai
akhirnya Dewatacengkar berada di pinggir laut. Dengan kesaktiannya, Ajisaka
kemudian mengibaskan sorbannya sehingga menyebabkan Dewatacengkar tercebur ke
laut. Konon, Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih.
Kematian Dewatacengkar disambut meriah oleh rakyat Medang
Kamulan. Ajisaka yang telah mengalahkan Dewatacengkar ditunjuk untuk memimpin
kerajaan, karena rakyat percaya Ajisaka akan berlaku adil dan selalu membela
kebenaran.
Setelah menjadi Prabu, Ajisaka teringat akan Sembada dan
keris pusaka yang ada di Mejhati. Prabu Ajisaka selanjutnya menyuruh Dora untuk
mengambil keris tersebut dari tangan Sembada.
Sesampai di Mejhati, Dora bertemu dengan Sembada. Kisah
pertemuan kedua saudara ini dituangkan dalam latar yang bahagia. Dora dan
Sembada saling bernyanyi untuk sekedar menanyakan kabar.
Sembada : “Bagya
Sira ingkang nembe prapti,
Lawas ora katon,
Menyang endi seprono
seprene?
Paranto basuki Dora mitraningsun”
Dora :
“Kawruhana wiya kaget sireki
Sajrone wak ingong, mulan ndara…..
Wus antara suwe, sejatine
praptaningsun kiyi
Kinen mundhut keris ingkang sira
tunggu”
Sembada : “Piye
Dora apa sira lali? Welinge sang Katong
Wanti-wanti, tan kena angambil
Lamun dudu Gusti nira pribadi
Kang angambil keris rereksanku”
Sembada bertanya kepada Dora tentang kabar dan perjalanannya.
Dora kemudian menjelaskan apa yang telah terjadi pada dirinya dan Ajisaka yang
telah mengalahkan Dewatacengkar. Lalu, Dora menyampaikan pesan Ajisaka untuk
mengambil keris pusaka yang ditunggu oleh Sembada. Namun Sembada tidak mau
menyerahkan keris pusaka itu kepada Dora karena masih teringat akan pesan
Ajisaka bahwa hanya kepada Ajisaka saja keris pusaka itu boleh diberikan.
Keduanya masih saling bersikukuh dengan tugas masing-masing. Perkelahian antara
keduanya tidak dapat dihindarkan, akhirnya keduanya mati.
Ajisaka merasa terlalu lama menunggu Dora, sehingga ia
memutuskan untuk pergi ke Mejhati. Sesampainya di Mejhati, Ajisaka dikagetkan
karena Dora dan Sembada sudah menjadi mayat. Ajisaka kemudian mengambil keris
pusaka yang menjadi awal kematian kedua abdi setianya. Dia menuliskan kisah
Dora dan Sembada pada sebuah batu dalam dua puluh aksara. Saat ini, ke-dua
puluh aksara tersebut dikenal dengan nama Aksara Jawa.
“ha na ca ra ka” (ada utusan)
“da ta sa wa la” (saling
berselisih)
“pa dha ja ya nya” (sama-sama
sakti)
“ma ga ba tha nga” (keduanya mati)
|
Epilog drama "Dongeng Sebelum Tidur" |
Banyak pelajaran dari kisah Ajisaka ini. Kesetiaan Dora dan
Sembada akan amanah yang diberikan kepadanya patut dijadikan sebuah teladan.
Amanah merupakan beban yang berada di pundak seseorang. Dora dan Sembada me
jada amanah yang diberikan kepada keduanya bahkan dengan nyawa yang
dimilikinya.
Kelalaian Ajisaka atas pesan yang diberikan kepada Sembada
menjadi sebab awal kematian kedua abdi setianya. Setelah menjadi seorang raja,
urusan yang dimiliki Ajisaka bertambah banyak, sehingga dia melalaikan pesan
yang telah dia berikan kepada Sembada. Jika Ajisaka teringat pesannya pada
Sembada, sudah pasti dia akan mengambil keris pusaka itu sendiri, sehingga
kedua abdi setianya tidak akan terbunuh. Peristiwa ini memberikan pelajaran
bagi kita akan konsekuensi atas janji yang telah diucapkan.
|
Pemain teater "Dongeng Sebelum Tidur" KMP Biologi UGM |
Kisah Ajisaka mungkin hanya fiksi yang diyakini menjadi
sebuah hal yang nyata di waktu silam. Namun, pelajaran yang terkandung dari
kisah ini begitu nyata adanya. Semoga kita tidak hanya menjaga dan melestarikan
Aksara Jawa sebagai kekayaan budaya, namun juga bisa meneladani
pelajaran-pelajaran positif yang terkandung di dalamnya. [PK]