Peta Kecamatan Sudimoro Pacitan (Foto: Seputar Sudimoro) |
Peristiwa Geger
Gunung Slurung terjadi pada tahun 1930 saat pemerintah Kolonial Belanda
mengadakan program Cacah Jiwa (Sensus Penduduk). Peristiwa ini terjadi di desa Klepu kecamatan Sudimoro kabupaten Pacitan. Peristiwa tersebut berawal
dari missunderstanding Kromomedjo
akan maksud dari program yang dicanangkan pemerintah Belanda tersebut.Konon, ada peringatan atas peristiwa ini yang dikenal dengan upacara Gembluk Kromomedjo.
Daerah Klepu, pada saat itu, adalah
daerah yang sangat terisolasi dari peradaban yang telah tercipta. Sebagian
besar penduduknya hanya bergantung dari alam di sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Tidak ada fasilitas pendidikan yang memadai, karena
sekolah hanya ada di pusat kota atau paling dekat di pusat kawedanan. Adanya barrier ini menyebabkan hampir seluruh
penduduk Klepu tuna aksara.
Tahun 1930 pemerintah Belanda melaksanakan program
Cacah Jiwa (dalam dialek bahasa Jawa: cacah
jiwo) untuk mengetahui data statistik penduduk Indonesia, yang waktu itu
masih disebut Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menggandeng pemerintah daerah,
yaitu bupati dan wedana (jabatan setingkat lebih tinggi dari camat) untuk
menggerakkan masyarakat dalam menyukseskan program ini.
Adalah Kromomedjo, salah satu penduduk Klepu yang
memiliki ilmu kanuragan dan sifat keras kepala. Kromomedjo memahami program
“cacah jiwa” ini sebagai sebuah program yang akan menyakiti masyarakat, yaitu
dengan “mencacah jiwa” dari setiap penduduk. Kromomedjo seketika menyatakan
sikap penentangannya terhadap program pemerintah Belanda ini. Mendengar hal
tersebut, beberapa petugas lapangan berusaha untuk menjelaskan makna cacah jiwa
yang sebenarnya, namun karena sifat keras kepala yang dimilikinya, Kromomedjo
tetap bersikeras dengan pemahamannya tersebut.
Pada hari yang ditentukan, Kromomedjo berhasil
mengajak sebagian penduduk untuk turut bersembunyi agar tidak menjadi sasaran
program cacah jiwa. Petugas akhirnya
melaporkan penolakan program ini kepada bupati Pacitan, yang kala itu dijabat
oleh R. Adipati Harjo Tjokronegoro II.
Mendengar laporan tersebut, Bapak bupati turun tangan dan menuju ke tempat
persembunyian Kromomedjo dan pengikutnya. Sesampai di tempat persebunyiaannya,
Adipati Harjo Tjokronegoro II mengajak Kromomedjo untuk berbicara secara
baik-baik. Kromomedjo tetap bersikeras untuk menentang program cacah jiwa
tersebut. Tak hanya dengan kata-kata, Kromomedjo juga menentang dengan jalan
mengacungkan keris Condong Campur ke arah bupati hingga berhasil mengenai dan
melukai Bupati.
Melihat kejadian tersebut, para tentara yang mengiring
bupati terpercik amarahnya sehingga memberondongkan peluru ke arah Kromomedjo.
Tindakan ini menyebabkan beberapa orang pengikutnya tewas, termasuk kedua
saudara Kromomedjo. Kromomedjo sendiri tetap berdiri tegak karena kebal
terhadap senjata api. Akhirnya, Kromomedjo dapat diringkus dan dieksekusi
setelah tentara mengetahui titik kelemahan Kromomedjo.
Peristiwa tragis di Gunung Slurung inilah yang
diiperingati dalam perayaan upacara adat Gembluk Kromomedjo. Dalam perayaan
ini, diharapkan agar generasi penerus bangsa menjadi generasi yang cerdas
sehingga tidak mudah terpancing amarah karena kesalahfahaman. Dengan modal
kecerdasan, seseorang juga dapat melakukan tabayyun
(cross check) atas informasi yang
diterimanya. [PK]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar