Minggu, 06 September 2015

Geger Gunung Slurung

Peta Kecamatan Sudimoro Pacitan (Foto: Seputar Sudimoro)

Peristiwa Geger Gunung Slurung terjadi pada tahun 1930 saat pemerintah Kolonial Belanda mengadakan program Cacah Jiwa (Sensus Penduduk). Peristiwa ini terjadi di desa Klepu kecamatan Sudimoro kabupaten Pacitan. Peristiwa tersebut berawal dari missunderstanding Kromomedjo akan maksud dari program yang dicanangkan pemerintah Belanda tersebut.Konon, ada peringatan atas peristiwa ini yang dikenal dengan upacara Gembluk Kromomedjo.
Daerah Klepu, pada saat itu, adalah daerah yang sangat terisolasi dari peradaban yang telah tercipta. Sebagian besar penduduknya hanya bergantung dari alam di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada fasilitas pendidikan yang memadai, karena sekolah hanya ada di pusat kota atau paling dekat di pusat kawedanan. Adanya barrier ini menyebabkan hampir seluruh penduduk Klepu tuna aksara.
Tahun 1930 pemerintah Belanda melaksanakan program Cacah Jiwa (dalam dialek bahasa Jawa: cacah jiwo) untuk mengetahui data statistik penduduk Indonesia, yang waktu itu masih disebut Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menggandeng pemerintah daerah, yaitu bupati dan wedana (jabatan setingkat lebih tinggi dari camat) untuk menggerakkan masyarakat dalam menyukseskan program ini.
Adalah Kromomedjo, salah satu penduduk Klepu yang memiliki ilmu kanuragan dan sifat keras kepala. Kromomedjo memahami program “cacah jiwa” ini sebagai sebuah program yang akan menyakiti masyarakat, yaitu dengan “mencacah jiwa” dari setiap penduduk. Kromomedjo seketika menyatakan sikap penentangannya terhadap program pemerintah Belanda ini. Mendengar hal tersebut, beberapa petugas lapangan berusaha untuk menjelaskan makna cacah jiwa yang sebenarnya, namun karena sifat keras kepala yang dimilikinya, Kromomedjo tetap bersikeras dengan pemahamannya tersebut.
Pada hari yang ditentukan, Kromomedjo berhasil mengajak sebagian penduduk untuk turut bersembunyi agar tidak menjadi sasaran program cacah jiwa.  Petugas akhirnya melaporkan penolakan program ini kepada bupati Pacitan, yang kala itu dijabat oleh  R. Adipati Harjo Tjokronegoro II. Mendengar laporan tersebut, Bapak bupati turun tangan dan menuju ke tempat persembunyian Kromomedjo dan pengikutnya. Sesampai di tempat persebunyiaannya, Adipati Harjo Tjokronegoro II mengajak Kromomedjo untuk berbicara secara baik-baik. Kromomedjo tetap bersikeras untuk menentang program cacah jiwa tersebut. Tak hanya dengan kata-kata, Kromomedjo juga menentang dengan jalan mengacungkan keris Condong Campur ke arah bupati hingga berhasil mengenai dan melukai Bupati.
Melihat kejadian tersebut, para tentara yang mengiring bupati terpercik amarahnya sehingga memberondongkan peluru ke arah Kromomedjo. Tindakan ini menyebabkan beberapa orang pengikutnya tewas, termasuk kedua saudara Kromomedjo. Kromomedjo sendiri tetap berdiri tegak karena kebal terhadap senjata api. Akhirnya, Kromomedjo dapat diringkus dan dieksekusi setelah tentara mengetahui titik kelemahan Kromomedjo.
Peristiwa tragis di Gunung Slurung inilah yang diiperingati dalam perayaan upacara adat Gembluk Kromomedjo. Dalam perayaan ini, diharapkan agar generasi penerus bangsa menjadi generasi yang cerdas sehingga tidak mudah terpancing amarah karena kesalahfahaman. Dengan modal kecerdasan, seseorang juga dapat melakukan tabayyun (cross check) atas informasi yang diterimanya. [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar