Senin, 26 Oktober 2015

Belajar dari Sebuah Kampung Bali

Tari Panca Brahma sebagai tarian penyambutan tamu

Anggota Sanggar Edi Peni bersama rombongan berfoto bersama dengan Pemain Gamelan Gong 2000 di Dusun Gunung Agung

Bali adalah sebuah tempat yang eksotis. Di dunia pariwisata, mungkin nama Bali lebih tenar jika dibandingkan dengan nama Indonesia. Bali begitu terkenal dengan keindahan alam dan keagungan budayanya. Alam bali yang elok bisa dibuktikan dengan tingginya animo masyarakat untuk berkunjung  ke pantai-pantai yang ada di Bali. Tak hanya pantai, Bali juga punya Danau  Bratan, Gunung Agung atau Kebun Raya Eka Karya. Alam yang indah didukung dengan budaya yang lestari. Budaya yang erat dengan kepercayaan mayoritas masyarakat sebagai umat Hindu sangat terasa. Budaya sebagai bentuk pemujaan kepada Dewata sangat harmonis memadukan hubungan Tuhan, manusia dan alam.

Budaya Bali memang sangat agung, tak hanya di tanah Bali, namun juga di tanah rantau. Budaya Bali yang terbalut pada sakralnya peribadatan Hindu masih sangat dipegah teguh warga keturunan Bali, meskipun tak menapaki tanah leluhurnya. Pengalaman ini kami dapati dari sebuah area di Provinsi Lampung, ujung selatan pulau Sumatera. Perjalanan ke Dusun Gunung Agung, desa Braja Harjosari, kecamatan Braja Selebah, kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung menjadi sebuah pembelajaran bahwa budaya bisa menjadi nyawa, bahwa budaya hidup tanpa batas geografis area.

Dusun Gunung Agung, desa Braja Harjosari, kecamatan Braja Selebah, kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Dusun ini dihuni oleh warga keturuan Bali yang melakukan transmigrasi pasca letusan Gunung Agung di dekade tahun 1960-an. Perjalanan kehidupan menakdirkan penduduk Dusun Agung menggantungkan hidup sebagai petani, petani yang menjunjung budaya Bali. Adalah Sanggar Gong 2000 motor dari pelestarian budaya ini. Di sini, latihan gamelan dan tarian dimulai. Selain berlatih, mereka juga mementaskannya di hadapan tamu yang berkunjung.

Wisata Desa Penyangga TNWK adalah program yang diusung tim Biologi FMIPA Universitas Lampung yang tergabung dalam konsorsium AleRT-Unila di bawah naungan program Trapical Forest Conservation Action (TFCA)-Sumatera. Sebuah perjalanan berharga bisa menikmati kampung Bali yang tidak berada di pulau Bali. Sebuah pelajaran bahwa di manapun tanah dipijak, budaya bisa hidup berdampingan, kesenian bisa digunakan sebagai modal kehidupan.

“Seru! Menyatu bersama masyarakat ‘Bali’, mendengarkan kisah dari Pak Mangku yang menuangkan perjalanan hidupnya lewat pahatan di gapura rumahnya dan bisa berjoged bersama cewek ‘Bali’!”, ungkap Priyambodo, tim Sanggar Edi Peni Pacitan yang turut ikut rombongan ke paket wisata desa ini.

Dan di Dusun Gunung Agung ini, kesenian juga dijunjung tinggi dan dijaga agar tetap lestari. Kesenian menjadi bagian kehidupan masyarakat Dusun Gunung Agung, dan Tim Biologi Unila mencoba memolesnya sebagai modal dasar roda ekonomi kreatif lewat wisata desa. Berminat melihat Bali di luar Bali? Dusun Gunung Agung jawabannya! [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar