Upacara Adat Srumbung Mojo Pacitan (Foto: Wema) |
Senin, 31 Agustus 2015
Minggu, 30 Agustus 2015
Upacara Adat Jemblung Somopuro
Kesenian Wayang Jemblung (Foto: Trasmara) |
Upacara adat Jemblung Somopuro adalah tradisi yang dilakukan pada saat-saat tertentu di desa Bungur kecamatan Tulakan kabupaten Pacitan. Upacara ini dilakukan untuk mengenang seniman jemblung yang bertapa di Gua Somopuro.
Gua Somopuro, Tulakan, Pacitan (Foto: Miranti) |
Jemblung adalah sebuah sarana dakwah Islam yang dibawa dari Banyumas, Jawa Tengah. Proses dakwah makin menyebar dan meluas, sehingga jemblung akhirnya sampai di daerah Pacitan, Ponorogo, Kediri dan Blitar. Jemblung merupakan seni teater tutur. Dalam satu pementasan, kesenian jemblung melibatkan empat hingga lima seniman/seniwati, umumnya satu wanita dan sisanya laki-laki. Kesenian jemblung tidak menggunakan gamelan atau alat musik lain, sehingga murni mengandalkan kemampuan tutur para pemainnya, baik dalam percakapan maupun untuk suara latar. Inilah yang menjadikan kesenian ini unik, dari suara 4-5 pemainnya bisa menghasilkan seluruh tokoh dan suara latar yang disajikan dalam sebuah pementasan.
Wayang Jemblung Khas Banyumas (Foto: Stefanus) |
Semangat seniman jemblung dalam
menyebarkan ajaran Islam inilah yang diperingati dalam upacara adat.
Diharapkan, generasi penerus bangsa mampu mempunyai semangat yang pantang
menyerah dalam berkarya dan berbakti pada nusa dan bangsa. [PK]
Sabtu, 29 Agustus 2015
Upacara Adat Methik Pari
Upacara Adat Methik Pari Pacitan (Foto: Alip) |
Upacara Methik Pari merupakan tradisi yang berkembang di desa Jeruk
kecamatan Bandar kabupaten Pacitan. Methik
Pari berarti memetik padi, sangat erat dengan karakter agraris di daerah
Bandar. Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur para petani akan panen padi
yang telah diperoleh, sekaligus sebagai penghormatan kepada Dewi Sri dan Joko
Sadono.
Upacara Adat Methik Pari Pacitan (Foto: Alip) |
Upacara adat Methik Pari mulai berkembang saat masa penjajahan Belanda.
Masyarakat Bandar mulai mengenal padi sebagai tanaman penghasil bahan makanan
pokok. Upacara ini dilakukan sehari sebelum panen padi dilaksanakan. Tarian
biasanya dilakukan di malam hari dengan puncak acara menampilkan tarian khas
yang juga berkisah tentang aktivitas memetik padi. [PK]
Jumat, 28 Agustus 2015
Upacara Adat Badut Sinampurno
Upacara Adat Badut Sinampurna (Foto: Ki Setyo) |
Upacara adat Badut Sinampurna adalah
tradisi yang berkembang di desa Ploso, kecamatan Tegalombo, kabupaten
Pacitan.Upacara adat ini dilakukan sebagai upaya untuk tolak bala dan ruwatan
atas gangguan dari makhluk halus yang ada di sekitar. Pada hakikatnya, acara
Badut Sinampurno adalah ungkapan doa bersama untuk menjalani kehidupan yang
sempurna.
Badut Sinampurno dilakukan warga Ploso
pada saat-saat tertentu, misalnya saat menginjak dewasa atau akan
melangsungkapn upacara pernikahan. Sebagai sebuah bersih desa, upacara ini juga
menggunakan sesaji. Sesaji merupakan manifestasi nyata dari kesungguhan atas
doa yang dipanjatkan. Sesaji yang disiapkan dalam acara Badut Sinampurno adalah
sego tumpeng, sego golong dan ingkungi. Sesaji ini akan diberikan doa atasnya, lalu dibagikan
kepada warga untuk dinikmati secara bersama-sama.
Badut Sinampurno adalah upacara adat
yang secara nyata tidak hanya memberikan berkah kepada sang punya hajat, namun
juga kepada masyarakat luas. Dalam upacara adat ini, banyak pula manfaat yang
dapat diambil, sebut saja semangat kebersamaan dalam menyukseskan acara yang
ada. Kebersamaan inilah yang ditunjukkan penjagaan atas tradisi yang telah
dilaksanakan oleh para leluhur. [PK]
Kamis, 27 Agustus 2015
Upacara Adat Baritan
Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Wem) |
Upacara adat Baritan merupakan
upacara adat yang digelar di dusun Wati desa Gawang kecamatan Kebonagung
kabupaten Pacitan. Upacara ini dilaksanakan dua tahun sekali, yaitu pada hari
Senin bulan Sura dalam kalender Jawa (bulan Muharram dalam kalender Hijriyah). Penentuan
tepatnya dilakukan oleh sesepuh dan juru kunci daerah setempat sesuai dengan
perhitungan hari baik dan hari buruk pada bulan dan tahun tersebut. Kata baritan berasal dari kata bareng wiritan (melakukan wirid secara
bersama-sama). Oleh karenanya, acara ini berisi doa untuk memohon perlindungan
dan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa agar masyarakat setempat dihindarkan
dari marabahaya.
Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Panoramio) |
Upacara Baritan dilaksanakan di
perempatan jalan terbesar di dusun Wati ini. Alasan pemilihan tempat
penyelenggaraan upacara ini dimaksudkan agar mempermudah akses dari seluruh
warga dusun untuk menghadiri acara tersebut. Waktu penyelenggaraan acara adalah
jam 12:00 WIB, sesaat selepas sholat dhuhur. Pada waktu ini, mayoritas
masyarakat dusun Wati yang berprofesi sebagai petani sedang berada di rumah,
sehingga potensi untuk menghadiri acara sangat besar.
Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Alip) |
Seperti upacara adat lainnya,
dalam upacara adat Baritan ini juga menggunakan sesaji. Sesaji akan diniatkan,
didoakan, dan dinikmati bersama-sama. Sesaji utama dalam upacara adat Baritan
adalah kambing kendhit jantan dan sepasang ayam tulak. Dahulu, upacara baritan
hanya sebatas berkumpul, meng-aamiin-kan doa, dan makan bersama. Namun, saat
ini upacara adat telah dimodifikasi agar lebih menarik dan menjadi agenda wisata. Rangkaian acara yang
dilaksanakan para leluhur dijadikan sebagai acara inti, sedangkan selebihnya
ditampilkan kesenian daerah yang disajikan oleh masyarakat setempat. Sajian
kesenian ini dapat berupa pentas tari, pencak silat, musik, wayang kulit
ataupun jenis hiburan yang lain.
Upacara Adat Baritan Kebonagung Pacitan (Foto: Alip) |
Berdasarkan folklore yang berkembang di masyarakat, upacara adat Baritan
diangkat dari kisah pada zaman Ki Ageng Soreng Pati, seorang abdi dari Ki Ageng
Buwono Keling. Konon, masyarakat setempat mengalami wabah penyakit yang
berkepanjangan, segala upaya masyarakat untuk mengatasi wabah ini tak berbuah
manis. Alkisah, Ki Ageng Soreng Pati memerintahkan untuk menyembelih kambing
kendhit jantan dan seoasang ayam tulak sebagai sedekah bumi. Setelah proses
kurban tersebut, wabah mereda dan berangsur hilang. Oleh karena itu, masyarakat
terus melaksanakan upacara ini untuk menghindarkan masyarakat dari datangnya
wabah penyakit. [PK]
Rabu, 26 Agustus 2015
Upacara Adat Mantu Kucing di Pacitan
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Wem) |
Upacara adat Mantu Kucing
merupakan bagian dari budaya di desa Purworejo kecamatan Pacitan kabupaten
Pacitan. Desa ini berada kurang lebih tiga kilometer di sebelah timur dari
pusat Kota Pacitan. Wilayah desa Purworejo didominasi oleh area persawahan
dengan beberapa bukit dan aliran anak sungai Grindulu, sungai terbesar yang
mengalir di kecamatan Pacitan. Kondisi alam demikian sangat mendukung mata
pencaharian sebagian besar penduduknya sebagai petani.
Petani dan alam adalah sebuah
kesatuan. Petani harus memahami alam aga menjadikan alam sebagai faktor
pendukung dalam menjalankan profesi di bisang agraria ini. Namun terkadang,
alam berperan sebagai faktor penghambat bagi para petani untuk berkarya.
Sebagai contoh, datangnya musim kemarau yang berkepanjangan menjadikan debit
air berkurang bahkan dapat menyebabkan kekeringan. Kondisi ini menjadi
penghalang bagi petani untuk menanam padi atau tanaman lainnya.
Entah sejak kapan, di desa
Purworejo kecamatan Pacitan berkembang tradisi untuk masalah kemarau panjang
yang terjadi. Upaya ini dilakukan dengan menjalankan sebuah upacara yang
bertujuan untuk meminta diturunkannya hujan. Tradisi ini dipercaya sudah
berkembang sejak zaman animisme dan dinamisme. Saat ini, meskipun mayoritas
penduduknya beragama Islam, namun tradisi ini masih dipegang teguh oleh para
warga. Hanya saja, doa yang dipanjatkan berpindah haluan, jika dahulu doa yang
dipanjatkan ditujukan kepada roh halus, roh leluhur atau makhluk yang mbahurekso wilayah ini, kini doa
ditujukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Upacara adat mantu kucing tidak
ubahnya seperti prosesi pernikahan manusia. Kedua kucing yang akan dinikahkan
juda disebut sebagai manten (pengantin)
dan dipakaiakan mahkota dari janur kuning. Kucing betina berasal dari desa
Purworejo, sedangkan sang pejantan diambilkan dari desa tetangga, umumnya dari
desa Arjowinangun. Upacara ini dilaksanakan di tepi sungai, perbatasan antara
asal kucing betina dan jantan. Sesepuh desa menjelaskan bahwa maksud pemilihan
tempat ini agar sungai yang dijadin tempat upacara akan segera dialiri air yang
berasal dari air hujan sebagai hasil dari proses permohonan turunnya hujan ini.
Calon mempelai wanita dipilih
kucing betina yang sudah dewasa tapi
belum pernah beranak. Kucing betina memiliki rambut (bulu) coklat halus,
berbadan sehat dan asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon
mempelai laki-laki dipilih kucing jantan dewasa yang diperkirakan belum pernah
mengawini kucing betina manapun. Kucing jantan juga dipilih yang memiliki warna
rambut (bulu) coklat halus dan berbadan sehat. Kucing jantan ini merupakan
kucing yang dipelihara oleh warna desa tentangga, umumnya berasal dari desa
Arjowinangun.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Upacara dimulai dengan proses
membawa mempelai wanita ke tempat acara dengan menggunakan tandu. Setelah
mempelai laki-laki datang, dilakukan jemuk
(temu manten) dengan disertai dengan penyerahan mahar dari mempelai
laki-laki kepada mempelai wanita. Mahar pernikahan ini berupa pedangiran (gentong yang terbuat dari
tanah liat). Barang ini dipilih sebagai simbol bahwa warga setempat sudah siap
untuk menerima turunnya hujan. Mahar diserahkan oleh seorang wanita (Ibu kepala
desa Arjowinangun) kepada seorang laki-laki (Bapak kepala desa Purworejo).
Selanjutnya, kedua pengantin didudukkan bersanding di tandu mempelai wanita dan
diarak menuju tepi sungai.
Upacara dilanjutkan dengan proses
memandikan kedua mempelai. Kedua mempelai (kucing betina dan jantan) diserahkan
kepada sesepuh desa, selanjutnya sesepuh desa-lah yang memandikan kedua
mempelai dengan air bunga. Proses ini bertujuan untuk mensucikan tubuh kedua
mempelai sebelum memasuki prosesi akad nikah. Setelah kedua mempelai
dimandikan, kedua mempelai dinikahkan dengan ijab diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan qobul diucapkan oleh sesepuh desa. Akad nikah ditutup dengan
pemanjatan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa.
Upacara Mantu Kucing Pacitan (Foto: Setiawan) |
Acara dilanjutkan dengan ngalap berkah berupa proses kembul bujana punar (makan bersama nasi
kuning). Secara bergantian, seluruh
hadirin mengambil nasi kuning (punar)
yang dibuat dalam bentuk tumpeng. Proses makan ini dipercaya akan mendatangkan
berkah baik berupa hujan, maupun berkah yang lain. Selanjutnya, acara diakhiri
dengan acara saling memberikan sungkem
dari pihak mempelai laki-laki dan wanita. Kedua mempelai selanjutnya dimasukkan
dalam kandang dan dipingit hingga tujuh hari atau sampai hujan turun. Setelah
hujan turun, kedua kucing dipelihara selayaknya kucing peliharaan.
Pro dan kontra senantiasa menjadi
bagian dari sebuah hal, termasuk upacara adat mantu kucing ini. Bagi masyarakat
yang pro menganggap bahwa melaksanakan acara ini merupakan upaya untuk
melestarikan budaya dan menghormati para leluhur. Namun, bagi pihak yang kontra
menganggap bahwa acara ini merupakan praktik bid’ah yang mengarah timbulnya penyekutuan terhadap kekuasaan Allah
SWT.
Demikianlah manusia, senantiasa
dihadapkan pada hal-hal yang kontradiktif, pro-kontra, hitam-putih,
gelap-terang. Kebijaksanaan manusia-lah yang diharapkan mampu untuk bertenggang
rasa dan saling menghormati pendapat dan kepercayaan masing-masing, sehingga
kedua hal yang kontradiktif ini bisa saling berjalan beriringan tanpa merugikan
satu sama lain. [PK]
Selasa, 25 Agustus 2015
Ceprotan, Sebuah Aset Budaya Kabupaten Pacitan
Sebuah Adegan Ki Godheg dan Dewi Sekartaji dalam upacara Ceprotan (Foto: Awik Baidawi) |
Ceprotan merupakan upacara adat yang terjadi
di desa Sekar kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan, sekitar 40 kilometer ke
arah barat dari pusat kota Pacitan. Seperti upacara bersih desa lainnya,
Ceprotan juga dilaksanakan di bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah) pada penanggalan
Jawa. Masyarakat Jawa masih memegang teguh prinsip dan peranan bulan Jawa dalam
putaran waktu sepanjang tahun. Ceprotan dilaksanakan setahun sekali tepatnya
setiap hari Senin Kliwon (Soma Kasih) pada bulan Selo. Jika dalam suatu masa di
mana tidak dijumpai hari Senin Kliwon pada bulan Selo, maka pelaksanaan upacara
Ceprotan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon (Radite Kasih).
Upacara Ceprotan terkait dengan babad tanah
Sekar, Donorojo. Upacara ini digelar untuk menghindarkan masyarakat dari mara
bahaya dan musibah yang dapat terjadi. Namun, seiring proses modernisasi,
upacara Ceprotan menjadi agenda wisata yang juga digarap oleh Dinas Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga kabupaten Pacitan.
Istilah ceprotan
dimungkinkan berasal dari kata cipratan
(percikan) dari air kepala muda yang menjadi puncak dalam upacara adat ini.
Sebelumnya, upacara adat dimulai dengan pengarakan cengkir (kelapa muda) yang digunakan sebagai sarana ceprotan menuju ke tempat
dilaksanakannya upacara. Selanjutnya, tetua adat memberikan doa-doa untuk
keselamatan dan kemakmuran warga setempat. Selanjutnya,acara dilanjutkan dengan
penampilan sendratari tentang Ki Godheg (sebagian teks menyebutkan Ki Gadheg)
dan Dewi Sekartaji.
Ki Godheg memberikan kelapa kepada Dewi Sekartaji, Dokumentasi 2014 (Foto: Doc. Pacitan) |
Setelah sendratari selesai,
upacara Ceprotan mulai memuncak. Pemuda yang membawa kelapa muda dibagi menjadi
dua kubu dan berada pada tempat yang saling berseberangan pada jarak tertentu. Di
antara kedua kubu tersebut, diletakkan ayam bakar. Setelah
semua siap, anggota dari kedua kubu mulai saling melempar kelapa muda yang
berada di depan mereka. Setiap orang yang terkena lemparan hingga kelapa yang
dilempar pada mereka pecah dan airnya membasahi tubuhnya dianggap sebagai orang
yang kelak akan mendapatkan rezeki yang melimpah. Ayam panggang yang diletakkan
di tengah-tengah arena tidak diperebutkan melainkan disimpan untuk dimakan
bersama-sama pada akhir acara. Setelah semua kelapa habis, kegiatan saling
melempar kelapa yang dinamakan ceprotan ini diakhiri dengan pembacaan doa
kembali. Pada penutupan acara ceprotan ini juga dilakukan tarian-tarian singkat
yang mengiringi kepergian pemuda-pemuda yang telah melakukan ceprotan.
Sebagai sebuah folklore (cerita tutur), banyak versi yang berkembang terkait
dengan sejarah detail Ceprotan. Paling tidak, ada dua versi cerita yang
berkembang di Masyarakat, namun kedua versi cerita tersebut bermuara pada ujung
yang sama, alur global keduanya juga mirip.
Cerita versi pertama menggambarkan bahwa saat
itu wilayang yang saat ini bernama desa Sekar pada awalnya merupakan wilayah
tandus dan tak berpenghuni. Desa Sekar berada di sebelah utara Kerajaan Wirati
yang saat itu dipimpin oleh Prabu Prawirayudha yang dikenal luas dengan nama Ki
Kalak. Salah satu putra beliau bernama Ki Gadheg ditugasi untuk membuka
padepokan dengan babad alas wilayah yang saat ini bernama desa Sekar. Pada
waktu babad alas, ki Godheg bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang mencari
kekasihnya, Raden Panji Asmarabangun. Merasa kehausan, Dewi Sekartaji meminta
minum kepada Ki Gadheg. Melihat sekeliling, Ki Gadheg tak dapat menemukan pohon
kelapa yang akan diambil airnya untuk diberikan kepada Dewi Sekartaji. Dengan
kesaktiannya, Ki Gadheg mendapatkan buah kelapa dan diberikan kepada Dewi
Sekartaji. Setelah dahaganya menghilang, sisa air kelapa ditumpahkanlah ke
tanah dan akhirnya menjadi mata air. Setelah peristiwa itu, Dewi Sekartaji
memberikan pesan kepada Ki Gadheg untuk menamakan daerah tersebut dengan nama
Sekar jika suatu saat menjadi daerah yang makmur. Selain itu, Dewi Sekartaji
juga berpesan agar diadakan upacara bersih desa sekali dalam setiap tahun.
Dewi Sekartaji membuang sisa air kelapa, dokumentasi 2014 (Foto:Do. Pacitan) |
Versi kedua menceritakan sosok Ki Gadheg
bernama Ki Godheg. Dalam cerita ini, Ki Godheg merupakan samaran dari Raden
Panji Asmarabangun. Ki Godheg memiliki misi untuk mengubah hutan belantara
menjadi lahan pertanian. Dalam proses babad alas, Ki Godheg bertemu dengan Dewi
Sekartaji yang sedang kehausan. Demi memenuhi keinginan Dewi Sekartaji, Ki
Godheg menggunakan kesaktiannya untuk masuk ke dalam tanah dan menuju tempat lain
yang cukup jauh. Konon, tempat keluar Ki Godheg dari dalam tanah berubah
menjadi sebuah mata air, kini dikenal dengan nama Kedung Timo di daerah Wirati,
desa Kalak. Setelah mendapatkan kelapa, Ki Godheg kembali ke tempat semula dan
menyerahkan kelapa tersebut kepada Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji meminum air
tersebut hingga hilang rasa dahaganya, sisa air kelapanya ditumpahkan ke tanah.
Tanah yang ditetesi sisa air kelapa oleh Dewi Sekartaji ini seketika berubah
menjadi mata air yang kini dinamai Sumber Sekar. Di akhir pertemuan mereka,
Dewi Sekartaji berpesan kepada Ki Godheg bahwa kelak jika di daerah tersebut
menjadi pemukiman penduduk, maka daerah tersebut harus dinamai dengan nama
Sekar.
Versi folklore
lain yang berkembang di masyarakat adalah menceritakan bahwa Ki Godheg dan Dewi
Sekartaji merupakan sepasang suami-istri. Pasangan ini mendirikan sebuah
padepokan untuk mengembangkan ilmu yang dimiliki keduanya. Dalam menerima
murid, Ki Godheg dan Dewi Sekartaji memberikan sejumlah persyaratan yang harus
dibawa oleh calon murid saat akan masuk padepokannya. Persyaratan tersebut
meliputi cengkir, beras pari, beras
ketan, mori, pitik putih mulus, kembang setaman, dan menyan. Pada waktu yang ditentukan, calon murid berdatangan
menghadap Ki Godheg. Beberapa di antara mereka membawa persyaratan yang
disebutkan, namun beberapa yang lain datang dengan tangan hampa. Selanjutnya,
Ki Godheg menuturkan bahwa orang yang membawa persyaratan tersebut dianggap
tidak dapat memahami persyaratan yang diminta Ki Godheg, karena persyaratan
tersebut bukan secara fisik, melainkan kesiapan mental yang dikemas dalam kereta basa (kepanjangan dari kata/istilah
yang disampaikan).
Puncak acara ceprotan: melempar cengkir, Dokumentasi 2014 (Foto Doc. Pacitan) |
Cengkir diartikan
sebagai kenceng ing pikir (modal
kecerdasan otak), sedangkan beras pari
berarti biar aber kekerasane (modal
kecerdasan emosi) dan beras keran adalah
keket tan ana tandinge (menjadi
manusia seutuhnya). Syarat yang lain juga merupakan pesan moral yang dikemas
dalam kereta basa, syarat mori berarti ngemori (menyatu dengan masyarakat) dan syarat pitik putih mulus berarti pikirane
mletik lan tulus (berlandaskan pada pola pikir yang jernih dan tulus). Dua
syarat terakhir merupakan sebuah perlambang. Kembang setaman memiliki maksud agar setiap manusia menebarkan
perpuatan yang baik, sedangkan menyan
melambangkan pesan untuk senantiasanya mendekatkan diri pada Sang Maha
Pencipta.
Sanggar
Edi Peni Pacitan pernah terlibat dalam proses komersialiasasi upacara adat
Ceprotan ini. Sanggar Tari Edi Peni menyajikan sebuah tarian bertajuk tari
Sekar Putri Manis. Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan
oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita.
Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan
Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita
menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.
Tari
Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat
Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997.
Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini
mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan
unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni
dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.
Penari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan |
Selain
tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil
Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri
Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam
jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga
tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan
mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten
Lamongan.
Upacara
adat Ceprotan merupakan aset budaya daerah yang sudah sepantasnya untuk dijaga
dan dilestarikan agar kelak, generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran
dari apa yang telah dilakukan pendahulunya. Cengkir
yang berarti kenceng ing pikir
sebagai properti utama dalam upacara memberikan pelajaran bahwa otak adalah
dasar untuk meraih rezeki Tuhan dalam kehidupan.[PK]
Senin, 24 Agustus 2015
Keistimewaan Bulan Selo (Dzulqo’dah)
Sistem Penanggalan Masehi yang dilengkapi dengan Penanggalan Hijriyah dan Jawa |
Bulan Selo merupakan bulan
kesebelas dalam penanggalan Jawa yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan
Agung di Kerajaan Mataram Islam. Bulan selo dikenal juga dengan istilah bulan
Longkang, sedangkan dalam penanggalan hijriyah dikenal dengan nama Dzulqo’dah
(Dulkangidah, dalam pengucapan Jawa). Jika kita cermati kehidupan dalam
bermasyarakat, khususnya dalam masyarakat Jawa, ada beberapa keunikan yang
terjadi di bulan Selo ini. Bulan Selo adalah bulan terlarang bagi masyarakat
Jawa untuk menggelar acara hajatan besar, baik untuk pernikahan ataupun
khitanan. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bulan Selo untuk melakukan acara
bersih desa lengkap dengan sedekah bumi dan upacara adat lainnya.
Kata selo berarti batu yang berhubungan dengan lemah (tanah). Makna kata selo
ini dihubungkan dengan nama lain dari bulan Dulkangidah dalam penanggalan Jawa
Kuno. Pada penanggalan tersebut, penamaan musim kesebelas adalah Hapit Lemah, sehingga bulan Selo juga
dikenal dengan bulan Apit. Makna kata selo
yang berhubungan dengan tanah ini mungkin menjawab pertanyaan tentang alasan
dilaksanakannya sedekah bumi pada bulan ini.
Bulan Selo dalam Kalender Jawa |
Dalam tatanan bahasa Jawa,
dikenal dengan istilah Kereta Basa,
yang menungkinkan mengartikan makna sebuah kata dengan menguraikannya. Misalkan
kata gedhang (pisang) dalam aturan Kereta Basa diartikan sebagai digeget bar madhang (dinikmati setelah
makan). Contoh lain adalah kata gelas
yang diartikan sebagai yen tugel ora bisa
di las (jika patah tak dapat lagi di-las/disambungkan). Demikian juga
dengan kata selo, kata ini juga
memiliki makna dalam tata aturan kereta
basa yang sangat berpengaruh dengan karakter bulan ini dalam masyarakat
Jawa. Kata selo diartikan sebagai seselane olo atau kesesel barang olo. Kedua makna dalam kereta basa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang olo (kejelekan/keburukan). Makna ini
selanjutnya dipercaya oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga masyarakat Jawa tidak akan menunaikan hajat pada bulan yang dianggap
penuh dengan hal-hal buruk.
Makna lain bulan Selo dapat
dilihat dari nama asli bulan Selo dalam istilah Arab. Kalender Jawa merupakan
adaptasi antara budaya Jawa dan budaya Islam, sehingga perlu ditelusuri makna
kata selo dalam bahasa alinya. Sultan
Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa pada tahun 1547 Saka (1035 Hijriah
atau tahun 1625 Masehi). Bulan Selo dalam penanggalan Islam disebut bulan Dzulqo’dah.
Dalam bahasa Arab, kata qo’idah
berasal dari kata qo’ada yang berarti
duduk. Makna kata qo’adah ini
dikaitkan dengan perintah untuk duduk bersila dan memperbanyak dzikir pada
bulan ini. Dimungkinkan ada penyalahtangkapan makna qo’adah dari sila menjadi
selo.
Dalam sistem kalender Islam, Dzulqo’dah
merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan di mana umat muslim tidak
diperbolehkan perang pada bulan ini (QS. At-Taubah:36). Larangan akan dilakukan
perang inilah yang mungkin digeneralisasi sebagai larangan untuk melakukan
hajat baik pada bulan ini. Sebagian keterangan para ulama juga menghubungkan
kemuliaan bulan Selo (Dzulqo’dah) dengan bulan untuk menapaktilasi semangat
nabi Musa (QS Al A’raf:142), sehingga pada bulan ini umat muslim diperintahkan
untuk merenung dan duduk bersila sembari membaca dzikir dan memanjatkan doa.
Bulan Selo dikenal pula dengan
istilah Longkang. Kata longkang dalam
bahasa Jawa diartikan sebagai gang sempit di antara dua rumah. Dahulu,
masyarakat Jawa memegang teguh prinsip bahwa air hujan dari genting rumahnya
harus jatuh di tanahnya sendiri, sehingga orang Jawa akan memberikan space kosong pada keempat sisi tanah
yang dibangun rumah. Prinsip ini memberikan dampak nyata bahwa antara satu
rumah dengan rumah tetangga terdekat tidak saling berhimpitan. Space terbuka antara kedua rumah inilah
yang disebut sebagai longkoang. Jika
dikaitkan dengan penanggalan Jawa, bulan Longkang merupakan bulan anatara dua
hari raya. Bulan kesepuluh dalah penanggalan Jawa adalah Sawal (Syawal) yang di
dalamnya terdapat hari raya Idul Fitri, sedangkan bulan kedua belas adalah
bulan Besar (Dzulhijjah) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha.
Jelaslah bahwa kata longkang berarti space waktu yang kosong tanpa adanya
hari raya.
Space waktu kosong (longkang) di antara dua hari raya hendaknya
digunakan secara maksimal oleh masyarakat Jawa. Leluhur Jawa mencontohkan acara
bersih desa pada bulan ini. Acara bersih desa mulai ada dan berkembang sejak
era anismisme dan dinamisme menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Jawa.
Bersih desa dilakukan semata-mata untuk memberikan hak perhormatan kepada
leluhur yang telah babad alas dan memberikan berkah melimpah pada desa
tersebut. Pesan dari kegiatan bersih desa adalah upaya untuk mendekatkan diri
kepada Sang Mahakuasa, bukan hanya kegiatan bersenang-senang yang banyak
dilakukan pada bulan-bulan yang mengapitnya.
Minggu, 23 Agustus 2015
Rontek, Sebuah Tradisi
Salah satu peserta Festival Rontek Pacitan 2015 (Foto: Pacitanku) |
Manusia tercipta dengan akal
pikiran yang senantiasa melahirkan karya cipta. Akal pikiran manusia akan mengejawantah
hal-hal yang ada menjadi suatu hal yang lebih berguna bagi kehidupan manusia. Setiap karya cipta yang ada merupakan
bagian dari sejarah dan kebudayaan yang menjadi petilasan manusia kelak jika telah tiada. Budaya akan menjadi ciri
khas suatu masyarakat, dan akan beradu dengan budaya daerah lain untuk saling
menunjukkan eksistensinya.
Rontek adalah hasil karya
manusia. Jika ditilik dari laman artikata.com rontek memiliki arti bendera yang
dipasang di ujung tombak. Arti ini nampaknya tidak pas jika dihubungkan dengan
kesenian yang sedang berlangsung di kabupaten Pacitan dengan tajuk Festival
Rontek Pacitan 2015. Festival Rontek Pacitan menjadi agenda rutin dari Disbudparpora
Kabupaten Pacitan mulai tahun 2011 lalu. Pada awal penyelenggaraannya, festival
ini diikuti oleh 2.818 orang dan akhirnya diganjar dengan penghargaan MURI atas
pecahnya rekor baru pada kategori permainan rontek.
Rontek merupakan akronim dari ronda
tetek yang merupakan tradisi masyarakat Pacitan pada bulan Ramadhan untuk
membangunkan warga saat hendak melaksanakan sahur. Kata tetek sendiri berasal dari bunyi yang dihasilkan properti yang
digunakan. Tetek merupakan kentongan
kecil yang terbuat dari bambu dengan berbagai ukuran. Alat ini dimainkan dengan
dipukul, seperti halnya kentongan pada umumnya. Besar-kecilnya alat,
besar-kecilnya celah yang dibuat dan jenis bambu yang digunakan untuk membuat tetek menjadi salah satu faktor pembeda
suara yang dihasilkan. Di daerah lain, misalnya Malang dan Jember, rontek
dikenal dengan istilah musik patrol.
Peserta Festival Rontek Pacitan 2014 (Foto: Henri) |
Festival Rontek Pacitan dikemas
sebagai sebuah ajang budaya, sehingga bukan harus dibuat semenarik mungkin
untuk menggugah keinginan masyarakat untuk menyaksikan. Dalam praktiknya,
Festival Rontek Pacitan diikuti oleh seluruh desa/kelurahan di kecamatan
Pacitan dan perwakilan masing-masing kecamatan di luar kecamatan Pacitan. Setiap
rombongan menampilkan kreasi musik rontek dengan dilengkapi dengan pawai mobil hias
dan tim penari yang berlenggak-lenggok mengiringi musik yang disajikan. Sebagai
sajian inti, musik rontek dikreasikan dan dipadukan dengan beberapa alat musik
lain, seperti saron, bonang dan gong untuk menghasilkan musik yang lebih indah.
Dalam proses penilaian, panitia akan menunjuk tim juri yang berasal dari Surabaya,
Surakarta atau Yogyakarta.
Sebagai agenda budaya, Festival
Rontek Pacitan memang telah menyedot animo masyarakat untuk turut menyaksikan
setiap penampilannya. Tahun 2015 ini, Festival Rontek Pacitan digelar pada 22-24
Agustus 2015 dengan 36 peserta. Festival dimulai sekitar jam 19.00 WIB dengan
mengambil rute dari Pendopo Kabupaten masuk ke Jl. Ahmad Yani lalu meuju
Jl. Jenderal Sudirman dan finish di Toko Jamu Jago. Pendopo
Kabupaten dan PLUT adalah dua pos yang mengharuskan rombongan setiap peserta
untuk melakukan atraksi andalan masing-masing. Kejuaraan akan diambil dari tiga
kategori, yaitu Lima Penyaji Tebaik, Tiga Penata Musik Terbaik dan Pelestari
Budaya.
Salah satu Peserta Festival Rontek Pacitan 2013 (Foto: Frendi) |
Festival Rontek Pacitan
sebenarnya bukan merupakan festival rontek atau musik patrol pertama di
Indonesia. Di Kabupaten Jember, atas prakarsa dari Unit Kegiatan Mahasiswa
Kesenian (UKMK) Universitas Jember diadakanlah Carnaval Music Patrol. Acara ini merupakan agenda tahunan yang
mulai digelar pada tahun 2000. Jember
Carnaval Music Patrol juga memberikan suguhan musik yang indah, suara musik
patrol dipadu dengan alat musik lain, misalnya seruling untuk menghasilkan
sajian yang memukau. Untuk menambah daya tarik, beberapa peserta menambahkan
beberapa tarian dan atraksi dalam pagelarannya.
Peserta Carnaval Music Patrol Jember 2014 (Foto: Dieqy) |
Atraksi Peserta Carnaval Music Patrol Jember 2014 (Foto: Dieqy) |
Di Purbalingga berkembang pula kesenian yang mirip dengan rontek, yaitu rongtek. Kata rongtek berasal dari singkatan ronggeng tek-tek. Kesenian ini merupakan sebuah tarian yang yang diciptakan oleh Susiati dan tim dari Sanggar Tari Wisanggeni. Ronggeng merupakan kesenian lenggeran khas banyumasan yang ditarikan dengan penuh keceriaan oleh remaja-remaja putri. Tarian ini enerjik dan menarik. Tarian lenggeran ini dikreasikan dengan suara kentongan bambu yang juga dipadu dengan alat musik lainnya. Tari Rongtek asal Purbalingga ini menyabet penghargaan Penata Tari Unggulan dan Penata Musik Unggulan pada Festival Tari Nusantara 2013 yang diselenggarakan di Sasana Langen Budaya Taman Mini Indonesia Indah.
Tari Rongtek Purbalingga (Foto: Indonesia Kaya) |
Asal mula musik rontek atau
patrol memang belum diketahui dengan jelas. Namun, kesenian ini merupakan hasil
karya manusia yang punya tujuan luhur. Sebagai generasi penerus bangsa, kita
selayaknya sadar bahwa setiap kesenian daerah merupakan aset budaya bangsa yang
harus diapresiasi dan dijaga agar tetap lestari. [PK]
Jumat, 21 Agustus 2015
Pelajaran dari Tari Bathok
Rabu (19/8/2015) pagi sedari jam
6.30 WIB lapangan desa Ngadirojo mulai dijejali oleh riuh suara anak-anak PAUD
dan TK dari hampir seluruh desa di wilayah kecamatan Ngadirojo. Siswa-siswi
PAUD-TK ini didampingi dengan orang tua dan guru mereka masing-masing akan
mempertontonkan senam/tari dengan properti berupa bathok (tempurung kelapa). Separuh dari lapangan dipadati oleh
anak-anak yang telah berdandan dengan bahan alam dan bahan bekas dan siap
menularkan keceriaannya lewat tampilan mereka.
Tari Bathok adalah senam kesehatan jasmani yang diiringi dengan medley lagu-lagu daerah dari seluruh
nusantara. Properti tempurung kelapa dipegang di kedua tangan, dan pada
beberapa gerakan akan ditepukkan. Hasil dari gerakan ini akan menghasilkan
bunyi prok, sehingga menambah riuh
suasana. Ciri khas lain dari tarian ini menunjukkan khas tarian anak-anak,
yaitu gerakan sederhana, seperti membungkuk atau memutar badan. Tarian ini
disajikan oleh banyak orang, sehingga nampak lebih indah karena kekompakan yang
dipertontonkan.
Kesuksesan dari tampilan
anak-anak PAUD dan TK ini menjadi kebanggan tidak hanya bagi sang anak, namun
juga bagi orang tau. Kebanggaan yang hadir di pikiran anak sangat baik untuk
perkembangan mereka, karena akan menumbuhkembangkan rasa percaya diri tampil di
depan khalayak. Rasa percaya diri menjadi salah satu modal dasar kehidupan yang
harus dipupuk untuk kesuksesan sang anak di masa mendatang. Dan dari kesuksesan
ini, anak akan termotivasi untuk meraih kesuksesan-kesuksesan yang lain di
kemudian hari.
Kesuksesan merupakan hasil dari
sebuah proses kerja sebelumnya. Mungkin filosofi ini yang menjadi salah satu
dasar didengungkannya tema “Ayo Kerja” oleh pemerintah pada peringatan HUT
Kemerdekaan RI tahun ini. Leluhur Jawa juga telah memberikan nasihat bahwa
siapapun yang telah menanam sesuatu akan memetik buah dari apa yang dia tanam
suatu saat nanti. Dan kesuksesan tampilan anak-anak PAUD dan TK ini menjadi
salah satu bukti.
Kesuksesan adalah hasil dari
adanya sinergisitas kerja dari komponen-komponen pendukung. Hal inilah yang
diajarkan dari sebuah tampilan Tari Bathok
beberapa hari silam. Bagaimana tidak, kesuksesan yang diperoleh sang anak saat
mementaskan tarian ini bukan hanya kesuksesan dari kerja sang anak sendirian,
namun juga merupakan resultan dari kerja komponen-komponen pendukungnya. Sang
anak bekerja keras untuk berlatih menghafalkan gerakan demi gerakan yang aan
dipentaskan. Proses latihan ini tak bisa dilakukan sang anak sendirian, namun
diperlukan komponen pendukung untuk melakukannya. Seorang guru bertindak pula
sebagai pelatih. Guru mencotohkan gerakan-gerakan kepada sang anak, lalu dengan
sabar melatihnya dalam kurun waktu tertentu, sehingga sang anak telah mampu
hafal secara utuh tarian tersebut.
Kesuksesan bukan hanya hasil dari
kerja anak-anak dan gurunya, namun juga peran orang tua dan keluarga. Dari
rumahlah kostum disiapkan, oleh orang tua dan keluarga. Orang tua dan keluarga
juga bekerja sebaik mungkin untuk berkreasi dengan bahan alam maupun barang
bekas. Ada yang berkreasi dengan dedaunan, baik daun pisang, daun nangka atau
daun kelapa. Ada sebagian pula yang bahan bekas, baik tas kresek, plastik atau
kertas bekas. Kreasi ini mempercantik tampilan anak-anak dalam menari, dan
tentunya juga menmbah nilai dalam menyukseskan tampilan putra-putri mereka.
Dalam kehidupan pun demikian,
kesuksesan bukan hanya diperoleh seorang diri, namun merupakan hasil dari kerja
bareng dari pemeran utama dengan komponen-komponen pendukungnya. Sebuah
kesuksesan yang diperoleh dari seorang anak, bukan hanya hasil dari kerja
kerasnya sendiri, namun juga hasil dari kerja dan dukungan dari orang tua,
keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sehingga, kesuksesan tidak boleh membuat
seseorang menjadi tinggi hati, melainkan haruslah memberikan kesadaran akan
pentingnya kolektivitas dalam kerja. [PK]
Kamis, 20 Agustus 2015
Tujuhbelasan yang Dirindukan
Reog yang masih menjadi primadona |
Peringatan tujuhbelasan
tahun 2015 sudah berangsur usai. Setiap individu kembali dalam rutinitas
awal, sekolah kembali aktif setelah sempat terbuai dalam perayaan. Tujuhbelasan memang selalu demikian,
gegap gempitanya memaksa seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta larut di
dalamnya, tua muda, besar kecil, tak pandang usia dan status sosial. Seluruh elemen
masyarakat bersatu untuk memeriahkan peringatan hari ulang tahun Republik
Indonesia. Setiap daerah mempunyai cara masing-masing untuk menyambutnya dan
setiap individu mempunyai peran masing-masing dalam memeriahkannya.
Kemeriahan agustusan terkadang
menimbulkan kerinduan akan kampung halaman. Kebersamaan yang dulu sempat
terjalin karena saling bahu membahu menyukseskan acara kembali terngiang dan
terbuka dalam ingatan. Pun nanti, acara agustusan
tahun 2015 akan menjadi kenangan yang akan kembali terbuka satu atau
beberapa tahun yang akan datang.
Kemeriahan agustusan
memang merupakan memori hangat yang pantas dikenang. Setiap individu saling
berkompetisi dalam acara-acara yang dikemas apik oleh panitia. Setiap elemen
masyarakat saling menunjukkan performa terbaik demi membela desa/instansi yang
mengirimnya. Semangat inilah yang nampaknya mengobarkan kembali rasa
patriotisme dan nasionalisme yang terkadang tergerus oleh arus globalisasi yang kian deras terasa.
Kerinduan akan kemeriahan panggung dan stand expo yang senantiasa digelar di lapangan desa Ngadirojo
adalah hal yang menjadi kebanggaan. Menengok kembali bagaimana setiap
desa/instansi ingin menampilkan expo
yang sangat merepresentasikan dirinya. Sebuah expo yang menjadikan citra dari desa atau lembaga yang membuatnya. Expo bukan hanya sebuah stand yang berdiri mengelilingi
lapangan, namun lebih jauh, stand
adalah pesan yang menunjukkan jati diri sebuah desa/instansi.
Expo PPHBN Kecamatan Ngadirojo tahun 2015 |
Lomba dan kegiatan eksibisi olahraga juga demikian. Otot dan
otak saling disinergikan untuk menjadikan diri sebagai yang terbaik dalam ajang
yang diadakan. Teknik dan strategi yang telah dipelajari dicoba untuk
diterapkan di lapangan demi mentasbihkan diri menjadi yang terbaik. Lewat sepakbola,
bola voli atau sekedar gerak jalan, setiap orang ingin menunjukkan daya
eksistensi agar diakui menjadi kampiun dalam kompetisi.
Salah satu peserta lomba gerak jalan (Foto: Juhan) |
Bidang seni juga tak kalah nyentrik. Tak hanya
mempertandingkan dan menampilkan kesenian yang sudah dikenal masyarakat secara
luas, seperti langen tayub, hadroh atau seni tari, terkadang panitia juga
mempertandingkan atau menampilkan penampilan yang unik. Seperti yang
ditampilkan oleh SDI Nurul Yaqin dalam pentas di panggung kemerdekaan. Sekelompok
anak ini mencoba memainkan perkusi dari alat-alat yang bisa kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari, sebut saja galon air mineral dan tempat sampah. Bidang
seni mencoba terus melestarikan budaya lewat kompetisi dan eksibisi yang
ditampilkan. Reog misalnya, tarian asal kabupaten Ponorogo ini memnjadi salah
satu primadona yang menyedot perhatian warga Ngadirojo. Bukan hanya tampilan,
panitia juga mencoba mengenalkan dan menanamkan kecintaan warga Ngadirojo
terhadap budaya yang ada.
Penari Jathilan dari Desa Ngadirojo |
Perayaan bidang seni dan budaya memang sangat kentara dan
patut menjadi alasan sebuah kerinduan. Dan kerinduan terkadang mengarahkan kita
pada ingatan tentang masa kecil yang begitu gembira. Masa kecil yang penuh
keceriaan juga dicoba ditampilkan dalam rangkaian perayaan. Adalah Senam Massal
siswa PAUD-TK dari seluruh desa di kecamatan Ngadirojo. Senam yang menggunakan
properti tempurung kelapa ini menjadi satu daya tarik tersendiri. Kepolosan anak-anak
dicoba ditampilkan, selain show up
kepada masyarakat, kegiatan seperti ini baik untuk melatih mentalitas
anak-anak.
Senam Bathok ala TK-PAUD se-kecamatan Ngadirojo |
Lalu, apakah agustusan
selalu membuahkan rindu? [PK]
Rabu, 19 Agustus 2015
Panggung Kemerdekaan di Kecamatan Ngadirojo, Pacitan
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa
tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa setiap daerah mempunyai
hal-hal spesifik yang membedakan dengan daerah lain, baik terkait alam maupun
kesenian. Indonesia adalah negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan
ribuan sub-suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki kekhasan masing-masing,
termasuk dalam menyambut hari
kemerdekaan Republik Indonesia.
Kecamatan Ngadirojo nampaknya
salah satu daerah yang konsisten dalam menyambut hari kemerdekaan Republik
Indonesia dengan penuh kemeriahaan. Beragam acara telah terangkai beberapa
waktu sebelum tanggal tujuh belas, misalnya perlombaan olahraga ataupun
perlombaan di bidang seni dan budaya. Puncaknya, didirikan stand expo dari
masing-masing desa dan instansi yang ada di wilayah kecamatan Ngadirojo. Expo ini beroperasi dari 17 hingga 19
Agustus dengan memamerkan hal-hal unggulan dari desa/instansi masing-masing. Selain
expo, lapangan desa Ngadirojo juga
didirikan panggung tempat berekspresi dari generasi bangsa di kecamatan
Ngadirojo.
Sanggar Edi Peni berkesempatan show up kemampuan di panggung
kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 2015. Dengan menggandeng SMP Negeri 1 Ngadirojo,
sanggar Edi Peni menyajikan tari Sanjaya Rangin. Berbeda dengan tampilan
sebelumnya, tarian Sanjaya Rangin dikemas dengan sedikit berbeda. Perbedaan
paling mencolok nampak dari mahkota yang dikenakan penari dan tata rias rambut.
Mahkota yang dipakai nampak lebih mewah daripada tampilan penari Sanjaya Rangin
sebelumnya. Sedangkan rambut dibiarkan terurai, ciri khas tarian Jawa Timur.
Tari kedua yang disajikan adalah
Tari Topeng Sumur Gedhe. Tarian ini ditarikan oleh lima siswi SMP Negeri 3
Ngadirojo dengan anggun. Tari ini adalah runner
up FLS2N Kabupaten Pacitan kategori Cipta Kreasi Tari SMP. Tari Topeng Sumur
Gedhe bercerita tentang penunggu danyang
Sumur Gedhe yang berada di wilayah Tawang, Sidomulyo.
Kedua tari tersebut menjadi
sajian yang memuaskan warga Ngadirojo yang haus dengan tampilan kesenian anak
bangsa yang belakangan banyak digeser oleh tari-tari modern yang datang bersama
arus globalisasi. Kedua tari tersebut juga merupakan bukti bahwa masih ada anak
bangsa yang menjaga dan melestarikan budaya daerah sebagai aset budaya
nasional. [PK]